BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Penyakit malaria merupakan masalah kesehatan
di Indonesia, khususnya di bagian Indonesia Timur.
Angka mortalitas 20,9 – 50 %.
NTT daerah endemis malaria penyakit ini menduduki rangking ke 2 dari 10 besar dari penyakit utama di Puskesmas.
Berdasarkan Profil Kesehatan Propinsi NTT dari tahun 1996 s/d 1997, Insiden penyakit malaria yang diukur berdasarkan Annual Malaria Incidence (AMI) sejak tahun 1996 s/d 1997 cenderung meningkat, seperti terlihat pada data berikut : tahun 1996 sebesar 189,17 ‰, sedangkan pada tahun 1997 sebesar 197,5 ‰ sedangkan Parasite Rate (PR) mengalami penurunan dari tahun 1996 sebesar 4,41% dan pada tahun 1997 sebesar 1,77%, namun jika dilihat perdesa masih ada desa dengan RP > 10 %, disamping itu penyakit malaria ini juga sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (Kanwil Depkes. NTT, 1998)
Angka mortalitas 20,9 – 50 %.
NTT daerah endemis malaria penyakit ini menduduki rangking ke 2 dari 10 besar dari penyakit utama di Puskesmas.
Berdasarkan Profil Kesehatan Propinsi NTT dari tahun 1996 s/d 1997, Insiden penyakit malaria yang diukur berdasarkan Annual Malaria Incidence (AMI) sejak tahun 1996 s/d 1997 cenderung meningkat, seperti terlihat pada data berikut : tahun 1996 sebesar 189,17 ‰, sedangkan pada tahun 1997 sebesar 197,5 ‰ sedangkan Parasite Rate (PR) mengalami penurunan dari tahun 1996 sebesar 4,41% dan pada tahun 1997 sebesar 1,77%, namun jika dilihat perdesa masih ada desa dengan RP > 10 %, disamping itu penyakit malaria ini juga sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (Kanwil Depkes. NTT, 1998)
Penyakit malaria sampai saat ini masih
menjadi masalah kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.
Malaria dapat ditemui hampir di seluruh dunia, terutama Negara-negara beriklim
tropis dan subtropics. Setiap tahunnya ditemukan 300-500 juta kasus malaria
yang mengakibatkan 1,5-2,7 juta kematian terutama di negara-negara benua
Afrika.(1,2,3)
Upaya penanggulangan di Indonesia telah
sejak lama dilaksanakan, namun daerah endemis malaria bertambah luas, bahkan
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, terdapat 15 juta kasus malaria dengan
38.000 kematian setiap tahunnya. Dari 295 kabupaten/kota yang ada di Indonesia,
167 kabupaten/kota merupakan wilayah endemis malaria.(3)
Beberapa upaya dilakukan untuk menekan
angka kesakitan dan kematian akibat malaria, yaitu melalui program
pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi diagnosis dini,
pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vector yang kesemuanya
ditujukan untuk memutuskan rantai penularan malaria.(3)
Penyakit malaria disebabkan oleh parasit
dari kelompok Plasmodium yang berada di dalam sel darah merah, atau sel hati
yang ditularkan oleh nyamuk anopheles.
Sampai saat ini telah teridentifikasi sebanyak 80 spesies anopheles dan 18 spesies diantaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria.
Sampai saat ini telah teridentifikasi sebanyak 80 spesies anopheles dan 18 spesies diantaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria.
Imunitas
terhadap malaria sangat kompleks,melibatkan hampir seluruh komponen system imun
baik spesifik maupun non-spesifik, imunitas humoral maupun seluler, yang timbul
secara alami maupun didapat akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik
timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat jangka pendek dan barangkali tidak
ada imunitas yang permanent dan sempurna.
Sejak Januari sampai dengan 5 Maret
tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai
26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53% ). Kasus tertinggi
terdapat di Propinsi DKI Jakarta (11.534 orang) sedangkan CFR tertinggi terdapat
di Propinsi NTT (3,96%).
Penyakit Demam Berdarah atau Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di
tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.
Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.
Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.
Penyakit DBD pertama kali di Indonesia
ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru
didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai
daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali
Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah
kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah
yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun.
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya
wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi
penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap
pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok
tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.
B. Tujuan Penulisan
a. Tujuan umum
Setelah
menyunsun makalah ini diharapkan mahasiswa mengetahui gambaran umum tentang
penyakit DHF dan Malaria serta proses asuhan keperawatannya
b. Tujuan khusus
Setelah
menyusun makalah ini diharapkan:
1. Mahasiswa mampu memperdalam pengetahuan dalam proses keperawatan
Medikal Bedah khususnya pada kasus DHF dan Malaria.
2.
Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian DHF dan Malaria
3.
Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab DHF dan Malaria
4.
Mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala DHF dan Malaria
5.
Mahasiswa mampu menjelaskan patofisologi DHF dan Malaria
6.
Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksaan pasien dengan DHF dan Malaria
7.
Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien DHF dan Malaria
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Malaria merupakan
suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium
dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan pembesaran limpa. Sedangkan
meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun kronik
yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan
ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam,
menggigil, anemia, dan pembesaran limpa
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis
atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada
kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat
dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik
merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
DHF adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk aides aegypty.
DHF adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk aides aegypty.
2.2 BIOLOGI DAN PERILAKU NYAMUK
Struktur Tubuh Nyamuk
Dewasa : panjang 3 – 6 mm, langsing, tungkai panjang, sayap sempit dengan
vena dan sisik sayap tersebar meliputi seluruh bagian sayap ke ujungnya. Kepala
agak bulat, diliputi sepasang mata majemuk yang hampir bersentuhan.
Betina : bagian mulut panjang untuk menusuk dan menghisap darah. Bagian mulut
terdiri atas labium bawah yang mempunyai saluran, bagian atas terdapat
labrum-epifarings, hipofarings, sepasang mandibula seperti pisau dan maksila
yang bergerigi. Antena panjang dan langsing sebanyak 15 segmen dan sedikit
bulu.
Jantan : antena
banyak bulu. Organ seksual disebut hipopigium.
Pupa nyamuk berbentuk oval dengan
ujung abdomen seperti ekor dan mempunyai sepasang tabung udara. Larva atau
jentik nyamuk bersifat akuatik dan mempunyai bagian kepala yang jelas, serta
mempunyai sifon atau tabung pernafasan atau sepasang spirakel di ujung abdomen.
Tubuh larva sering ditutupi rambut-rambut keras yang panjang.
Telur nyamuk diletakkan secara
berderet seperti rakit di permukaan air (Culex) dan pada tumbuhan air
(Mansonia) atau satu persatu diletakkan pada dinding bejana yang berisi air
(Aedes). Telur nyamuk Anopheles diletakkan satu persatu di permukaan air,
menyerupai perahu dengan pelampung.
2.3 Siklus Hidup dan Perilaku Nyamuk
Siklus hidup mengalami metamorfosis
sempurna yaitu telur ? larva (jentik) ? pupa ? dewasa. Larva dan pupa
memerlukan air untuk hidup, sedangkan telur Aedes aegypti dapat hidup lama
tanpa air, meskipun di lingkungan yang lembab.
Tempat bertelur dan perkembangan
larva: danau, aliran air, kolam, air payau, bendungan, saluran irigasi, air
bebatuan, septik tang, selokan, kaleng bekas dan lain-lain.
Nyamuk dewasa bisa tinggal di sekitar
tempat perindukannya, tapi bisa juga terbang beberapa kilometer,
tergantung spesies dan faktor lain.
Nyamuk yang berada di sekeliling
rumah seperti Culex, Aedes aegypti, tumbuh dan berkembang dalam genangan
air. Telur di dalam air akan menetas dalam waktu sampai 3 hari pada suhu 30 0C,
7 hari pada suhu 16 0C. Larva mengalami 4 kali pergantian kulit (instar) dan
berubah menjadi pupa. Pupa sangat sensitive terhadap pergerakan air. Pupa
menjadi dewasa di atas permukaan air yang tenang. Membutuhkan waktu 2 – 3 hari,
tetapi dapat diperpanjang sampai 10 hari pada suhu rendah (di bawah suhu 10 0C
tidak ada perkembangan).
Waktu menetas kulit pupa tersobek
oleh gelembung udara. Siklus hidup bisa lengkap dalam waktu 1 minggu atau lebih
tergantung suhu, makanan, spesies dan faktor lain.
Nyamuk dewasa jantan umumnya tahan
hidup selama 6 – 7 hari, sangat singkat hidupnya dan makanannya adalah cairan
tumbuhan (madu) atau nektar. Dewasa betina dapat mencapai 2 minggu lebih di
alam dan menghisap darah berbagai jenis hewan dan manusia. Darah dibutuhkan
untuk produksi telur.
Setiap jenis nyamuk mempunyai jarak
terbang paling efektif antara tempat perindukan dan sumber makanan darah yang
berbeda-beda. Nyamuk Anopheles jarak terbang maksimum 1 – 3 mil, Aedes aegypti
dan Aedes albopictus betina mempunyai jarak terbang 50 – 100 meter.
Nyamuk tertarik pada cahaya, pakaian
berwarna gelap, manusia serta hewan. Disebabkan oleh perangsangan bau zat-zat
yang dikeluarkan hewan, terutama CO2 dan beberapa asam amino dan lokalisasi
yang dekat pada suhu hangat serta kelembaban. Beberapa spesies nyamuk bersifat
antropofilik (senang dengan manusia), zoofilik (senang pada hewan/ternak),
antropozoofilik (senang pada manusia dan hewan) dan hidup bebas di alam.
Perilaku menggigit dan menghisap
darah berbeda menurut umur, waktu (siang/malam) dan lingkungan. Irama serangan
berubah menurut musim dan suhu.
2.4 Jenis-jenis Nyamuk di Indonesia
Terdiri atas 457 spesies diantaranya
80 spesies Anopheles, 125 Aedes, 82 Culex, 8 Mansonia sedangkan sisanya
termasuk tidak mengganggu.
Nyamuk Demam Berdarah
- Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Berwarna belang hitam putih
pada toraks (dada), abdomen (perut) dan tungkai (kaki), terdapat di daerah
tropis tetapi berasal dari Afrika.
- Berkembang biak dalam tempat
penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum,
vas bunga dan barang bekas yang dapat menampung air hujan.
- Telur berwarna hitam, oval dan
diletakkan di dinding wadah iar, biasanya di permukaan air. Apabila wadah air
mongering, telur bias tahan (dorman) selama beberapa minggu bahkan bulan.
Ketika wadah tersebut diisi air lagi dan menutupi seluruh bagian telur, maka
akan menetas menjadi jentik (larva).
- Jentik berkembang dalam waktu 6 – 8
hari menjadi pupa (kepompong) yang berbentuk seperti koma. Lebih dari 2 hari
menjadi nyamuk dewasa. Total siklus hidup dalam waktu 9 – 12 hari.
- Setelah muncul dari kepompong, akan
mencari pasangan kemudian kawin. Setelah kawin siap mencari darah untuk
perkembangan telur. Nyamuk jantan setelah kawin akan istirahat. Aktivitas
menggigit adalah siang hari yaitu pagi dan sore. Lebih suka menggigit di daerah
yang terlindung seperti di sekitar rumah. Jarak terbang 50 – 100 meter, kecuali
kalau terbawa angin kencang.
Apabila sudah menghisap darah akan
istirahat di tempat yang gelap dan sejuk, sampai proses penyerapan darah untuk
perkembangan telur selesai. Setelah itu mencari tempat berair dan bertelur.
Setelah bertelur mulai mencari darah lagi untuk siklus bertelur berikutnya
(siklus gonotrofik). Proses ini berlangsung setiap 2 – 3 hari untuk daerah
tropis seperti Indonesia.
Nyamuk Rumah
- Contoh Culex
quinquefasciatus. Tersebar di daerah tropis dan subtropis. Menularkan penyakit
kaki gajah atau filariasis Wuchereria bancrofti. Habitat larva adalah saluran
air kotor, septik teng, pit latrines, daerah urban dan suburban. Berwarna
coklat muda dan aktifitas menggigit pada malam hari dan puncaknya 22.00 –
02.00.
Nyamuk Malaria
- Jenis Anopheles antara
lain An. Maculatus, An. Sundaicus, An. Aconitus, Am. Barbirostris, An. Vagus,
An. Balabacencis. Habitat bervariasi tergantung spesies, mulai dari pegunungan
sampai pantai. Aktivitas menggigit malam hari (nokturnal).
- Jarak terbang tergantung spesies.
Bentuk jantan maupun betina mempunyai maksilari palpi membesar. Kaki panjang
dan langsing. Hanya betina yang menghisap darah. Telurnya diletakkan satu
persatu menyerupai perahu pelampung dari khorion yang berlekuk di sebelah
lateral.
Nyamuk Kebun
- Contohnya Armigeres
subalbatus. Berukuran lebih besar dibandingkan nyamuk lain. Berwarna hitam,
bagian perut terdapat bercak-bercak putih, mempunyai proboscis panjang dan
melengkung ke belakang. Gigitan sangat menyakitkan, bisa menggigit tubuh yang
tertutup oleh baju. Menjelang maghrib aktif sekali menggigit dan masuk rumah.
Nyamuk Gajah
Nyamuk gajah adalah Toxorhynchites,
biasa disebut juga nyamuk toksor. Ukuran sangat besar, dikatakan terbesar di
dunia. Tersebar di daerah tropis dan subtropis. Mempunyai sisik berwarna
metalik (mengkilat). Mencari makan di siang hari. Tidak menghisap darah, baik
jantan maupun betina menghisap cairan tumbuhan. Larva atau jentik berukuran
besar dan bersifat predator atau pemangsa larva nyamuk lain yang lebih kecil.
Dalam 1 hari dapat memangsa 16 ekor larva Aedes aegypti. Telurnya diletakkan
satu persatu di atas permukaan air berwarna keputih-putihan dan sering
ditemukan pada lubang-lubang pohon, potongan-potongan bamboo, ban bekas,
lekukan daun dan sejenisnya yang tergenang air hujan.
2.5 PERANAN DALAM BIDANG KESEHATAN
1. Karena
sifat nyamuk betina menghisap darah, maka dikenal sebagai pengganggu yang
serius baik pada manusia maupun hewan. Gigitannnya mengganggu kenyamanan ketika
tidur, istirahat atau sedang melakukan aktivitas keseharian serta penular
berbagai jenis penyakit yang bias menimbulkan kematian. Contoh nyamuk betina
menghisap darah manusia yang mengandung agen penyakit dalam stadium inefektif
kemudian di dalam tubuh nyamuk agen tersebut berkembang dan akhirnya kembali ke
kelenjar ludahnya, dan siap ditularkan ke orang lain ketika menghisap darah
berikutnya.
2. Nyamuk Anopheles menularkan penyakit Malaria. Virus dengue -1, 2 , 3, 4 penyebab penyakit demam berdarah ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus. Virus chikungunya penyebab chikungunya juga ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus. Virus Japanese B. Encephalitis penyebab radang otak ditularkan oleh Culex tritaeiorhynchus dan berbagai jenis cacing filaria seperti Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi penyebab filariasis (penyakit kaki gajah) ditularkan oleh Culex quinquefasciatus dan Anopheles barbirostris.
2. Nyamuk Anopheles menularkan penyakit Malaria. Virus dengue -1, 2 , 3, 4 penyebab penyakit demam berdarah ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus. Virus chikungunya penyebab chikungunya juga ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Ae. Albopictus. Virus Japanese B. Encephalitis penyebab radang otak ditularkan oleh Culex tritaeiorhynchus dan berbagai jenis cacing filaria seperti Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi penyebab filariasis (penyakit kaki gajah) ditularkan oleh Culex quinquefasciatus dan Anopheles barbirostris.
3. Nyamuk
juga mengganggu hewan dan menularkan penyakit cacing jantung anjing
(Dirofilaria immitis), bovine ephemeral virus dan lain-lain.
Siklus Hidup Plasmodium
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk
siklus hidupnya, yaitu manusia dan nyamuk anopheles betina.
Siklus pada manusia
Pada waktu nyamuk anopheles
infektif menghisap darah manusia, sporozoit yang berada dalam kelenjar liur
nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama lebih kurang 30 menit.
Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati.
Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000
merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung
selama lebih kurang 2 minggu. Pada P.vivax dan P.ovale,
sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada
yang menjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat
tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada
suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat
menimbulkan relaps (kambuh) .
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang
pecah akan masuk ke dalam peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di
dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit
sampai skizon (8 sampai 30 merozoit). Proses perkembangan aseksual ini disebut
skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit
yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya. Siklus ini disebut siklus
eritrositer .
Setelah 2 sampai 3 siklus skizogoni darah,
sebagian merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium
seksual yaitu gametosit jantan dan betina
Siklus pada nyamuk anopheles betina
Apabila nyamuk anopheles betina
menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan
dan betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet
kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamuk
ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoit ini
akan bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia .
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak
sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa
inkubasi bervariasi tergantung spesies Plasmodium
Masa prepaten adalah rentang waktu sejak
sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan
mikroskopik
Tabel 1. Masa inkubasi penyakit malaria .
Plasmodium
|
Masa inkubasi (hari)
|
P. falciparum
|
9 – 14 (12)
|
P.vivax
|
12 – 17 (15)
|
P.ovale
|
16 – 18 (17)
|
P. malariae
|
18 – 40 (28)
|
Referensi:
- Upik
Kesumawati Hadi & F.X. Koesharto. 2006. Hama Permukiman Indonesia. UKPHP
FKH IPB. Bogor.
-
www.pusdiknakes.or.id
Tahap-tahap Perkembangbiakan Virus Untuk berkembang biak, virus harus menginfeksi sel inang. Inang virus berupa makhluk hidup lain, yaitu bakteri, sel tumbuhan, sel hewan. Cara reproduksi virus dikenal dengan proliferasi.
Daur virus dapat dibedakan menjadi daur litik dan daur lisogenik.
a. Daur Litik
1) Absorbsi (fase penempelan).
2) Infeksi (fase memasukkan asam nukleat).
3) Sintesis (fase pembentukan).
4) Perakitan.
5) Lisis (fase pemecahan sel inang).
b. Daur Lisogenik
Kadang-kadang virus ini melakukan daur lisogenik dengan tahaptahapnya:
1) Fase absorbsi
2) Fase injeksi
3) Fase penggabungan
4) Fase pembelahan
5) Fase sintesis.
6) Fase perakitan.
7) Fase litik.
• IgM adalah antibodi yang dihasilkan pada pemaparan awal oleh suatu antigen.
Nama M berasal dari makro-globulin dan berat molekul IgM adalah 900.000 dalton. IgM mempunyai mempunyai rumus bangun pentamer dan merupakan imunoglobumin terbesar. IgM merupakan Ig paling efisien dalam aktivasi komplemen. Molekul-molekul IgM diikat oleh rantai J (joining chain) seperti halnya pada IgA kebanyakan sel B mengekspresikan IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respon imun primer terhadap kebanyakan antigen disbanding dengan IgG. IgM juga merupakan Ig yang predominan diproduksi janin. Kadar IgM yang tinggi dalam darah umbilicus merupakan petunjuk adanya infeksi intrauterine. Bayi yang baru dilahirkan hanya mengandung IgM 10% dari kadar IgM dewasa, karena IgM ibu tidak dapat menembus plasenta. Janin umur 12 minggu sudah mulai membentuk IgM bila sel-Bnya dirangsang oleh infeksi intrauterine, seperti sifilis congenital, rubella, toksoplasmosis dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak akan mencapai kadar IgM dewasa pada usia 1 tahun.
Kebanyakan antibody alamiah seperti isoglutinin, golongan darah AB, antibody heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan mikroorganisme pathogen, memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator poten antigen. Bila seorang anak diimunisasi terhadap produk bakteri seperti toksoid, akan diperlukan beberapa hari sebelum antibody ditemukan dalam darah. Dalam 2 sampai 3 hari setelah suntikan toksoid kedua kali, kadar antibody dalam darah meningkat tajam dan mencapai kadar maksimum yang jauh lebih tinggi disbanding dengan respon primer. Respon sekunder ditandai dengan respon yang lebih cepat serta banyak produksi antibody. Hal tersebut disebabkan oleh adanya ekspansi sel memori akibat pemberian toksoid pertama. Hal yang khas terjadi pada respon sekunder; pembentukan immunoglobulin berlangsung lebih cepat dan untuk waktu yang lebih lama, immunoglobulin mencapai titer tinggi yang terutama terdiri atas IgG. Pada respon primer timbulnya IgG didahului oleh IgM.
Contohnya, jika seorang anak menerima vaksinasi tetanus I, maka 10-14 hari kemudian akan terbentuk antibodi antitetanus IgM (respon antibodi primer).
IgM banyak terdapat di dalam darah tetapi dalam keadaan normal tidak ditemukan di dalam organ maupun jaringan.
• IgG merupakan jenis antibodi yang paling umum, yang dihasilkan pada pemaparan antigen berikutnya.IgG juga merupakan komponen utama immunoglobulin serum, dengan berat moleku 160000 dalton. Kadarnya dalam serum sekitar 13mg/ml, merupakan 75% dari semua imunoglubolin. IgG ditemukan dalam berbagai cairan seperti darah, urine, dan cairan cerebro spinal.
o
IgG dapat menembus plasenta
masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan
o
IgG dan komplemen berkerja
saling membantu sebagai opsonin pada pemusnahan antigen. IgG memiliki sifat
opsonin yang efektif karena sel-sel fagosit, monosit, dan makrofak mepunyai
reseptor untuk fraksi Fc ( Fragmen Crystallizable Receptor) dari IgG sehingga
dapat mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Opsonin dalam
bahasa yunani berarti menyiapkan untuk dimakan. Selanjutnya proses opsinisasi
tersebut dibantu oleh reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit.
IgG merupakan
imunoglubolin terbanyak dalam darah, cairan cerebro spinal dan peritoneal. IgG
pada manusia terdiri atas 4 sub kelas yaitu IgG1,IgG2,IgG3,dan IgG4 yang
berbeda dalam aktifitas biologic.Contohnya, setelah mendapatkan suntikan tetanus II (booster), maka 5-7 hari kemudian seorang anak akan membentuk antibodi IgG. Respon antibodi sekunder ini lebih cepat dan lebih berlimpah dibandingkan dengan respon antibodi primer.
IgG ditemukan di dalam darah dan jaringan. IgG merupakan satu-satunya antibodi yang dipindahkan melalui plasenta dari ibu ke janin di dalam kandungannya. IgG ibu melindungi janin dan bayi baru lahir sampai sistem kekebalan bayi bisa menghasilkan antibodi sendiri.
• IgA adalah antibodi yang memegang peranan penting pada pertahanan tubuh terhadp masuknya mikroorganisme melalui permukaan yang dilapisi selaput lendir, yaitu hidung, mata, paru-paru dan usus.
IgA ditemukan di dalam darah dan cairan tubuh (pada saluran pencernaan, hidung, mata, paru-paru, ASI).
• IgE adalah antibodi yang menyebabkan reaksi alergi akut (reaksi alergi segera).
IgE penting dalam melawan infeksi parasit (misalnya river blindness dan skistosomiasis), yang banyak ditemukan di negara berkembang.
• IgD adalah antibodi yang terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit di dalam darah. Fungsinya belum sepenuhnya dimengerti.
Sistem Komplemen
Sistem komplemen mengandung lebih dari 18 macam protein. Protein-protein ini bertindak dalam suatu kaskade, dimana satu protein mengaktifkan protein berikutnya.
Sistem komplemen bisa diaktifkan melalui 2 cara yang berbeda:
1. Jalur alternatif : diaktifkan oleh produk mikroba tertentu atau antigen
2. Jalur klasik : diaktifkan oleh antibodi khusus yang terikat pada antigen (komplek imun).
Sistem komplemen berfungsi menghancurkan benda asing, baik secara langsung maupun bergabung dengan komponen sistem kekebalan lainnya.
Sitokinesis
Pada sistem kekebalan, sitokinesis berfungsi sebagai pembawa pesan.
Sitokinesis dihasilkan oleh sel-sel pada sistem kekebalan sebagai respon terhadap perangsangan.
Sitokinesis memperkuat (membantu) beberapa aspek sistem kekebalan dan menghalangi (menekan) aspek yang lainnya.
Beberapa sitokinesis bisa diberikan sebagai suntikan untuk mengobati penyakit tertentu.
Contohnya:
- alfa interferon efektif untuk mengobati kanker tertentu (misalnya leukemia sel berrambut)
- beta interferon digunakan untuk mengobati sklerosis multipel
- interleukin-2 diberikan kepada penderita melanoma maligna dan kanker ginjal
-
• granulocyte colony-stimulating factor merangsang pembentukan neutrofil, diberikan kepada penderita kanker yang memiliki sedikit neutrofil sebagai efek samping dari kemoterapi.
Kompleks histokompatibiliti mayor
Semua sel memiliki molekul pada permukaannya, yang khas untuk setiap individu. Molekul ini disebut molekul kompleks histokompatibiliti mayor.
Melalui molekul ini, tubuh dapat membedakan mana yang merupakan benda asing, mana yang bukan benda asing.
Terdapat 2 jenis molekul kompleks histokompatibiliti mayor (disebut juga human leukocyte antigens atau HLA):
1. HLA I ditemukan di semua sel tubuh, kecuali sel darah merah
2. HLA II hanya ditemukan pada permukaan makrofag serta limfosit T dan limfosit B yang telah dirangsang oleh suatu antigen.
Sel-sel pada sistem kekebalan belajar membedakan benda asing dan bukan benda asing di dalam kelenjar thymus. Pada saat janin mulai membentuk sistem kekebalan, sel stem berpindah ke kelenjar thymus dan membelah serta berkembang menjadi limfosit T.
Ketika berkembang di dalam kelenjar thymus, setiap limfosit T yang bereaksi terhadap HLA thymus dimusnahkan. Setiap limfosit T yang memerima HLA thymus dan belajar bekerja sama dengan sel-sel yang mencerminkan HLA tubuh akan mengalami pematangan dan meninggalkan thymus.
Hasilnya adalah limfosit T dewasa menerima sel-sel tubuh dan organnya sendiri dan jika harus mempertahankan tubuh, bisa bekerja sama dengan sel-sel tubuh lainnya.
Jika limfosit T tidak dapat menerima HLAnya sendiri, maka dia akan menyerang tubuhnya sendiri.
Kadang limfosit T kehilangan kemampuannya untuk membedakan benda asing dan bukan benda asing, sehingga terjadi penyakit autoimun (misalnya lupus eritematosus sistemik atau sklerosis multipel).
•
Tubuh manusia
merupakan organ yang mampu menghasilkan panas secara mandiri dan tidak
tergantung pada suhu lingkungan. Tubuh manusia memiliki seperangkat sistem yang
memungkinkan tubuh menghasilkan, mendistribusikan, dan mempertahankan suhu
tubuh dalam keadaan konstan. Panas yang dihasilkan tubuh sebenarnya merupakan
produk tambahan proses metabolisme yang utama.
1. Mekanisme tubuh ketika suhu
tubuh meningkat yaitu :a. Vasodilatasi
Vasodilatasi pembuluh darah perifer hampir dilakukan pada semua area tubuh. Vasodilatasi ini disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasokontriksi sehingga terjadi vasodilatasi yang kuat pada kulit, yang memungkinkan percepatan pemindahan panas dari tubuh ke kulit hingga delapan kali lipat lebih banyak.
b. Berkeringat
Pengeluaran keringat melalui
kulit terjadi sebagai efek peningkatan suhu yang melewati batas kritis, yaitu
37°C. Peningkatan suhu tubuh sebesar 1°C akan menyebabkan
pengeluaran keringat yang cukup banyak sehingga mampu membuang panas tubuh yang dihasilkan dari metabolisme
basal 10 kali lebih besar. Pengeluaran keringat merupakan salah satu mekanisme
tubuh ketika suhu meningkat melampaui ambang kritis.
Kerja sistem Imun tubuh secara
sederhana terbagi dalam 3 kelompok:
•
Sistem pertahanan pertama (awal): contohnya kulit,
rambut di kulit.
•
Sistem pertahanan non spesifik (alamiah): ini adalah
sistem yang paling cepat bereaksi ketika ada serangan virus, bakteri atau
mikroba dari luar. Contohnya:
fagositisis, komplemen, lisis.
•
Sistem Pertahanan spesifik (dapatan): sistem ini baru bekerja ketika
perlawanan sistem imun alami kita tidak cukup dan bekerja menurut jenis
serangan virus atau bakteri yang terjadi. Yang bekerja di sistem ini adalah
Limfosit T & B. Hasil kerja sistem inilah yang berbentuk antibodi (IgG dan
IgM). ]
Perbedaan peradangan
akut dan kronikAkut Kronik
Agent penyebab Patogen, jaringan rusak Inflamasi dari patogen,benda asing, autoimun
Sel yang terlibat PMN, monosit,makrofag,mononuclear Mononuclear, fibroblas
Media primer Vasoaktif amine IFN gamma,sitokin
Onset Pertengahan Lamban
Durasi Singkat Lamban
Efek Penyembuhan, radang kronik Perusakan jaringan
Radang akut, proses pendek yang ditandai dengan tanda klasik dari peradangan- bengkak, kemerahan, nyeri, panas, dan kehilangan fungsi-ketika terjadinya infiltrasi jaringan oleh leukosit dan plasma. Ini terjadi selama stimulus luka ada dan berhenti ketika stimulus telah di hilangkan, rusak, ataupun ditutup oleh fibrosis.
Proses peradangan akut ini diinisiasi oleh darah yang menuju tempat terjadinya luka, yang memindahkan protein plasma dan leukosit-leukosit (eksudat) dalam jaringan. Peningkatan aliran cairan yang menuju jaringan akan menyebabkan bengkak yang diikuti inflamasi semasih system limfatik tidak dapat mengkompensasi, dan meningkatnya aliran darah ke area, menyebabkan merah dan panasnya daerah inflamasi tersebut.
Tanda-tanda klasik pada peradangan akut adalah sebagai berikut :
Rubor-Kemerahan
Calor-Panas
Tumor-Bengkak
Dolor-Nyeri
Functio laesa-Hilang fungsi
Radang Kronik
Radang kronik adalah kondisi patologis yang ditandai dengan inflamasi yang aktif, penghancuran jaringan, perbaikan. Radang kronik tidak ditandai dengan tanda klasik yang dimiliki radang akut. Karena, jaringan yang mengalami radang akut diinfiltrasi oleh mononuclear sel imun (monosit, makrofag, limfosit, dan plasma sel) penghancuran jaringan, dan mengalami penyembuhan, termasuk juga angiogenesisbdan fibrosis.
Fakor endogen menyebabkan radang akut. Sedangkan factor eksogen menyebabkan variasi termasuk infeksi bakteri, khususnya Mycobacterium Tuberculosis. Proses yang lama juga disebabkan oleh agent kimiawi, seperti silica, asap rokok, maupun respon autoimun seperti rheumatoid arthtritis.
Dalam radang akut, pembuangan stimulus penghentian penarikan monosit ke dalam jaringan yang mengalami peradangan dan pengeluaran melalui limfatik. Sedangkan jaringan yang mengalami peradangan kronik memiliki stimulus tersebut yang menetap, maka dari itu, perekruitan monosit sangat dipertahankan, makrofag yang sudah ada tetap di tempat, dan proliferasi dari makrofag tetap di rangsang.
Contoh ketidaknormalan inflamasi
1. Asma
2. Autoimun
3. Radang kronik
4. Prostatitis kronik
5. Glomerulonephritis
6. Hipersensitivitis
7. Radang perut
8. Radang pelvis
9. Rheumatoid Arthtritis
10. Penolakan transplantasi
11. Vaskulitis
Interferon
Glikoprotein
ini berasal dari leukosit manusia, yang dibentuk
oleh sel tubuh karena berbagai rangsang. Saat ini telah dikenal
3 jenis utama interferon yaitu a, Q, dan y. Alfa inter-feron (yang dulu disebut
interferon leukosit) dibentuk oleh linfosit dan sel lain
sistem limfatik. Ada sekitar 10 macam interferon yang telah ditemukan. Beta
interferon (dulu disebut interferon fibroblas)
diproduksi oleh fibroblas. Gama interferon (yang disebut
interferon imun) terbentuk dalam limfoblas setelah
adanya pembebasan interleukin 2 akibat eksposisi
antigen. Interferon dapat mengaktifkan enzim sitoplasma, yang mempengaruhi m--RNA. Diduga terjadi hal berikut: interferon akan berikatan dengan reseptor spesifik yang
terdapat pada permukaan sel dan dapat menginduksi TIP (transfer
inhibiting protein) yang
bersifat anti-virus. Aktivitas interferon sangat tinggi, 1 mg dapat melindungi
10 sel. Disamping itu interferon
berperan meninggikan aktivitas sitotoksik limfosit T juga menghambat pembelahan
sel seperti sel tumor. Alfa interferon dapat digunakan
pada kasus infeksi virus pada mata dan hidung; efek
sampingnya antara lain gejala yang
mirip flu, kadang-kadang nausea, muntah, leukopenia
serta trombositopenia. Beta interferon (Fibla-feron R) digunakan untuk menanggulangi infeksi virus yang sulit diobati (misal virus ensefalitis, herpes zoster generalisatus,
virus papiloma dan sebagainya)
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain juga dapat menularkan virus ini, namun kurang berperan.(8)
Saat nyamuk menghisap darah dari manusia yang terinfeksi, flavivirus masuk ke tubuh nyamuk dan akan bereplikasi selama 8-12 hari, setelah melewati masa inkubasi maka nyamuk akan terus infeksius sepanjang masa hidupnya.(3) Setelah masuk kedalam tubuh nyamuk virus tersebut akan menyerang epitel sel usus nyamuk, menyebar ke lamina basal menuju sirkulasi dan menginfeksi kelenjar liur dan terus replikasi pada sel kelenjar sampai akhirnya virus dapat lepas dari kelenjar ludah. Virus mencapai kelenjar air ludah nyamuk dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) dan siap menginfeksi orang lain pada saat menghisap sambil menginjeksikan air liurnya. Masa hidup nyamuk A.aegypti dan masa inkubasi tergantung pada temperatur dan curah hujan dari tiap daerah, akan tetapi umumnya berumur 21 hari.(8)
Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa inkubasi 3-14 hari rata-rata 4-6 hari (intrinsic incubation period). Proses replikasi virus terutama terjadi di sistem retikuloendotelial, seperti sel dendritik, hepatosit, dan sel endotelial. Proses ini akan mengakibatkan diproduksinya sel imun mediator yang akan menentukan jumlah, tipe, dan durasi dari respon imun selular maupun humoral. Ketika masa inkubasi terjadi akan muncul gejala sistemik seperti demam, menggigil, nyeri kepala, dan gejala seperti flu pada hari ke 3-7 dan akan sembuh total dalam 7-10 hari.(3,8)
Penularan dari manusia yang sedang mengalami viremia ke nyamuk dimulai 2 hari sebelum muncul gejala-gejala tersebut dan bertahan sampai 5-6 hari setelah demam timbul. Fase ini sangat penting karena jika pasien tidak dilindungi dari gigitan nyamuk Aedes betina maka siklus penyebaran akan berlanjut. Flavivirus dapat menyebabkan infeksi persisten pada host vertebrata maupun invertebrata. Infeksi pada invertebrata biasanya bersifat persisten dengan perkembangbiakkan virus terus menerus dalam tubuh serangga tanpa menghancurkan serangga tersebut, sehingga dapat menyebabkan penyebaran infeksi terus menerus.(5)
Demam berdarah dengue atau dengue shock syndrome biasanya muncul sekitar hari ke 3-7 dari perjalanan penyakit, tepatnya pada saat turunnya demam. Kelainan dalam patofisiologi yang disebabkan oleh demam berdarah dengue dan dengue shock syndrome adalah meningkatnya permeabilitas vaskular secara cepat yang berakibat pada kebocoran plasma dari ruang vaskular dan pendarahan.(3) Kebocoran plasma ini akan menyebabkan hemokonsentrasi dan dapat menjadi shock, yang mana jika tidak dikoreksi akan berakibat anoksia pada jaringan, asidosis metabolik, dan kematian. Pendarahan dalam berbagai manifestasi, mulai dari pendarahan petechiae kulit sampai pendarahan saluran cerna yang mengancam hidup merupakan akibat dari kerapuhan kapiler dan trombositopenia. Perubahan haemostatik dalam DBD mencakup 3 hal yaitu perubahan vaskular, trombositopenia, dan gangguan koagulasi.(5)
Demam berdarah dengue dapat disebabkan oleh infeksi serotipe virus yang lebih virulen ataupun faktor host yang tidak mendukung seperti daya tahan tubuh yang rendah atau infeksi bakteri.(8) Kasus DBD lebih sering terjadi di asia tenggara daripada di Afrika ataupun Amerika. Orang kulit hitam dikenal resisten terhadap DBD/SSD karena diduga mempunyai “gen resistensi”.(4)
Hampir semua pasien yang menderita Demam Berdarah Dengue atau Sindroma Syok Dengue mempunyai riwayat infeksi dengan serotipe virus dengue yang heterolog. Hal ini mendukung hipotesis antibodi heterotipik (secondary heterologous infection theory) dimana antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisir oleh tubuh sehinga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Terdapat juga hipotesis yang lain yaitu hipotesis mengenai antibodi dependent enchancement (ADE), yaitu suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. Sebagai tambahan, strain tertentu seperti DEN-3 dilaporkan lebih ganas, karena kebanyakan epidemi DBD hampir selalu dihubungkan dengan DEN-3 daripada serotipe lainnya.(8)
Malaria :
Patofisiologi
Patofisiologi
pada malaria belum diketahui dengan pasti. Berbagai macam teori dan hipotesis
telah dikemukakan. Perubahan patofisiologi pada malaria terutama berhubungan
dengan gangguan aliran darah setempat sebagai akibat melekatnya eritrosit yang
mengandung parasit pada endotelium kapiler. Perubahan ini cepat reversibel pada
mereka yang dapat tetap hidup (survive). Peran beberapa mediator humoral masih
belum pasti, tetapi mungkin terlibat dalam patogenesis terjadinya demam dan
peradangan. Skizogoni eksoeritrositik mungkin dapat menyebabkan reaski leukosit
dan fagosit, sedangkan sporozoit dan gametosit tidak menimbulkan perubahan
patofisiologik.
Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Penghancuran eritrosit. Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.
b. Mediator endotoksin-makrofag. Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.
c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam.
Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam protein untuk sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P. falciparum
Patofisiologi malaria adalah multifaktorial dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut :
a. Penghancuran eritrosit. Penghancuran eritrosit ini tidak saja dengan pecahnya eritrosit yang mengandung parasit, tetapi juga oleh fagositosis eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit, sehingga menyebabkan anemia dan anoksia jaringan. Dengan hemolisis intra vaskular yang berat, dapat terjadi hemoglobinuria (blackwater fever) dan dapat mengakibatkan gagal ginjal.
b. Mediator endotoksin-makrofag. Pada saat skizogoni, eirtosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam perubahan patofisiologi malaria. Endotoksin tidak terdapat pada parasit malaria, mungkin berasal dari rongga saluran cerna. Parasit malaria itu sendiri dapat melepaskan faktor neksoris tumor (TNF). TNF adalah suatu monokin , ditemukan dalam darah hewan dan manusia yang terjangkit parasit malaria. TNF dan sitokin lain yang berhubungan, menimbulkan demam, hipoglimeia dan sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa (ARDS = adult respiratory distress syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam pembuluh darah paru. TNF dapat juga menghancurkan plasmodium falciparum in vitro dan dapat meningkatkan perlekatan eritrosit yang dihinggapi parasit pada endotelium kapiler. Konsentrasi TNF dalam serum pada anak dengan malaria falciparum akut berhubungan langsung dengan mortalitas, hipoglikemia, hiperparasitemia dan beratnya penyakit.
c. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi plasmodium falciparum stadium lanjut dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen malaria dan bereaksi dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung plasmodium falciparum terhadap endotelium kapiler darah dalam alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam, bukan di sirkulasi perifer. Eritrosit yang terinfeksi, menempel pada endotelium kapiler darah dan membentuk gumpalan (sludge) yang membendung kapiler dalam alam-alat dalam.
Protein dan cairan merembes melalui membran kapiler yang bocor (menjadi permeabel) dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan. Anoksia jaringan yang cukup meluas dapat menyebabkan kematian. Protein kaya histidin P. falciparum ditemukan pada tonjolan-tonjolan tersebut, sekurang-kurangnya ada empat macam protein untuk sitoaherens eritrosit yang terinfeksi plasmodium P. falciparum
PATOFISIOLOGI Syok Hipovolemik
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi. Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik itu telah tercakup pada apa yang ditulis sebelumnya. Referensi untuk bacaan selanjutnya dapat ditemukan pada bibliografi. Mekanisme yang rumit yang telah dijelaskan sebelumnya efektif dalam memenuhi perfusi organ vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau koreksi keadaan patologi yang mendasari perdarahan, perfusi jantung akhirnya akan berkurang, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
Demam dengue tidak mempunyai pengobatan spesifik, pasien DD dapat berobat jalan, dan tidak perlu dirawat sedangkan pasien DBD dapat dirawat diruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Pengobatan suportif (perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit) merupakan kunci dari tatalaksana pasien DD karena demam tinggi dan kebocoran kapiler yang mungkin terjadi dapat menimbulkan dehidrasi.(8)
Pada fase demam/febril tidak dapat dibedakan antara DD/DBD, akan tetapi terapi yang diberikan adalah sama, baik simptomatis maupun suportif:(7,8)
- Tirah
baring.
- Obat
antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk
menurunkan suhu menjadi kurang dari 39° C, dianjurkan pemberian
parasetamol (tidak lebih dari 4 kali dalam 24 jam). Asetosal/salisilat
tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan gastritis,
perdarahan, atau asidosis.
- Dianjurkan
pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, susu, disamping air
putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah
sebagai berikut :
1) Tirah baring atau istirahat baring.
2) Diet makan lunak.
3) Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
4) Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan.
5) Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
6) Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
7) Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
8) Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9) Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
10) Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11) Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
1) Tirah baring atau istirahat baring.
2) Diet makan lunak.
3) Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
4) Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan.
5) Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam.
6) Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari.
7) Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen.
8) Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
9) Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder.
10) Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
11) Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam.
PENATALAKSANAAN malaria
Pemeriksa
mengajukan terapi untuk penderita ini yaitu : istirahat dan banyak minum
(minimal 2 liter per hari). Makan tinggi kalori tinggi protein dan dilanjutkan
dengan pemberian primakuin 15 mg/hari yang bekerja skizontozid jaringan. Hari
ke-4 selama 14 hari . Vit B Comp 3 x 1.
PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT
Selalu lakukan pemeriksaan secara legaartis, yang tdd :
Anamnesis secara lengkap (allo dan/ auto anamnesis bila memungkinkan)
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium : parasitologi, darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal dan lain-lain untuk mendukung/menyingkirkan diagnosis/komplikasi lain, misal :: punksi lumbal, foto thoraks, dan lain-lain.
Penatalaksanaan malaria berat secara garis besar mempunyai 3 komponen penting yaitu :
Terapi spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
Terapi supportif (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Pengobatan terhadap komplikasi
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan yang dilakukan di puskesmas sebelum dirujuk adalah :
A. Tindakan umum
B. Pengobatan simptomatik
C. Pemberian anti malaria pra rujukan : dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal)
A. Tindakan umum ( di tingkat Puskesmas ) :
Persiapkan penderita malaria berat untuk dirujuk ke rumah sakit/fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, dengan cara :
Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila diperlukan beri oksigen (O2)
Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)
Monitoring tanda-tanda vital antara lain : keadaan umum, kesadaran, pernafasan, tekanan darah, suhu, dan nadi setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui perkembangannya)
Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan SD tebal. Penilaian sesuai kriteria diagnostik mikroskopik.
Bila hipotensi, tidurkan dalam posisi Trendenlenburg dan diawasi terus tensi, warna kulit dan suhu, laporkan ke dokter segera.
Kasus dirujuk ke rumah sakit bila kondisi memburuk
Buat / isi status penderita yang berisi catatan mengenai : identitas penderita, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding, tindakan & pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan/pengobatan, dan lain-lain yang dianggap perlu (misal : bila keluarga penderita menolak untuk dirujuk maka harus menandatangani surat pernyataan yang disediakan untuk itu). Catatan vital sign disatukan kedalam status penderita.
B. Pengobatan simptomatik :
Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x
(dewasa) diberikan 2 x sehari.
C. Pemberian obat anti malaria spesifik :
Kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk malaria berat. Kemasan garam Kina HCL 25 % injeksi, 1 ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian anti malaria pra rujukan (di puskesmas) : apabila tidak memungkinkan pemberian kina perdrip maka dapat diberikan dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal).
Cara pemberian :
Kina HCL 25 % (perdrip), dosis 10mg/Kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml = 500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5 % atau dextrose in saline diberikan selama 8 jam dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.
Bila penderita sudah dapat minum, Kina IV diganti dengan Kina tablet / per oral dengan dosis 10 mg/Kg BB/ x dosis, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus perdrip yang pertama).
Catatan :
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat toksisitas pada jantung dan kematian.
Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 1/2 dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis maintenans kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik harus dilakukan.
Total dosis kina yang diperlukan :
Hari 0 : 30 mg/Kg BB
Hari I : 30 mg/Kg BB
Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.
Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat.
Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka penanganannya : lanjutkan penatalaksanaan sesuai protap umum Rumah Sakit (seperti telah diuraikan diatas), yaitu :
Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.
Pengobatan supportif/penunjang (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Ditambah pengobatan terhadap komplikasi.
Selalu lakukan pemeriksaan secara legaartis, yang tdd :
Anamnesis secara lengkap (allo dan/ auto anamnesis bila memungkinkan)
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium : parasitologi, darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal dan lain-lain untuk mendukung/menyingkirkan diagnosis/komplikasi lain, misal :: punksi lumbal, foto thoraks, dan lain-lain.
Penatalaksanaan malaria berat secara garis besar mempunyai 3 komponen penting yaitu :
Terapi spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
Terapi supportif (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Pengobatan terhadap komplikasi
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan yang dilakukan di puskesmas sebelum dirujuk adalah :
A. Tindakan umum
B. Pengobatan simptomatik
C. Pemberian anti malaria pra rujukan : dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal)
A. Tindakan umum ( di tingkat Puskesmas ) :
Persiapkan penderita malaria berat untuk dirujuk ke rumah sakit/fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, dengan cara :
Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila diperlukan beri oksigen (O2)
Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)
Monitoring tanda-tanda vital antara lain : keadaan umum, kesadaran, pernafasan, tekanan darah, suhu, dan nadi setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui perkembangannya)
Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan SD tebal. Penilaian sesuai kriteria diagnostik mikroskopik.
Bila hipotensi, tidurkan dalam posisi Trendenlenburg dan diawasi terus tensi, warna kulit dan suhu, laporkan ke dokter segera.
Kasus dirujuk ke rumah sakit bila kondisi memburuk
Buat / isi status penderita yang berisi catatan mengenai : identitas penderita, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding, tindakan & pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan/pengobatan, dan lain-lain yang dianggap perlu (misal : bila keluarga penderita menolak untuk dirujuk maka harus menandatangani surat pernyataan yang disediakan untuk itu). Catatan vital sign disatukan kedalam status penderita.
B. Pengobatan simptomatik :
Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x
(dewasa) diberikan 2 x sehari.
C. Pemberian obat anti malaria spesifik :
Kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk malaria berat. Kemasan garam Kina HCL 25 % injeksi, 1 ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian anti malaria pra rujukan (di puskesmas) : apabila tidak memungkinkan pemberian kina perdrip maka dapat diberikan dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal).
Cara pemberian :
Kina HCL 25 % (perdrip), dosis 10mg/Kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml = 500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5 % atau dextrose in saline diberikan selama 8 jam dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.
Bila penderita sudah dapat minum, Kina IV diganti dengan Kina tablet / per oral dengan dosis 10 mg/Kg BB/ x dosis, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus perdrip yang pertama).
Catatan :
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat toksisitas pada jantung dan kematian.
Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 1/2 dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis maintenans kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik harus dilakukan.
Total dosis kina yang diperlukan :
Hari 0 : 30 mg/Kg BB
Hari I : 30 mg/Kg BB
Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.
Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat.
Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka penanganannya : lanjutkan penatalaksanaan sesuai protap umum Rumah Sakit (seperti telah diuraikan diatas), yaitu :
Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.
Pengobatan supportif/penunjang (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Ditambah pengobatan terhadap komplikasi.
Kolaps
sirkulasi, syok hipovolume, hipotensi, ?Algid malaria? dan septikaemia
Sering terlihat pada pasien-pasien dengan :
Dehidrasi dengan hipovolemia (akibat muntah-muntah dan intake cairan kurang)
Pasien dengan diare dan peripheral circulatory failure (algid malaria)
Perdarahan masif GI tract
Mengikuti ruptur limpa
Dengan komplikasi septikaemia gram negative
Kolaps sirkulasi lebih lanjut berakibat komplikasi asidosis metabolik, respiratory distress dan gangguan fungsi / kerusakan jaringan.
Gejala : hipotensi dengan tekanan sistolik < 70 mm Hg pada orang dewasa dan < 50 mm Hg pada anak-anak, konstriksi vena perifer.
Gejala khas : kulit dingin, suhu 38-40 oC, mata cekung, cianosis pada bibir dan kuku, nafas cepat, nadi cepat dan dangkal, nyeri ulu hati, dapat disertai mual/muntah, diare berat.
Tindakan :
Koreksi hipovolemia dengan pemberian cairan yang tepat (NaCL 0,9 %, ringer laktat, dextrose 5 % in saline), plasma expander (darah segar, plasma, haemacell atau bila tidak tersedia dengan dextran 70) dalam waktu 1/2 - 1 jam pertama 500 ml, bila tidak ada perbaikan tensi dan tidak ada overhidrasi, beri 1000 ml, tetes diperlambat dan diulang bila dianggap perlu.
Bila memungkinkan, monitor dengan CVP ( tekanan dipelihara antara 0 s/d +5 cm)
Bila terjadi hipovolemia menetap, diberikan Dopamin dengan dosis inisial 2 ug/Kg/menit yang dilarutkan dalam dextrose 5 %. [pada hipovolemia kontra indikasi untuk pemberian inotropik karena tidak akan menaikkan TD malah menimbulkan takikardi yang justru akan merugikan. Bila hipovolemia sudah teratasi tapi TD belum naik, kemungkinan kontraktilitas miokard yang jelek ? diperbaiki dengan pemberian Dobutamin, bukan Dopamin, dengan dosis sampai 20 µg/kg BB/m] dosis dinaikkan secara hati-hati sampai tekanan sistolik mencapai 80-90 mm Hg.
Periksa kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglokemia.
Buat kultur darah dan resistensi test. Mulai segera pemberian antibiotik broad spektrum, misal : generasi ketiga sefalosporin bila tersedia, yang dapat dikombinasi dengan aminoglikosida bila fungsi renal sudah dipastikan baik (periksa juga ureum & kreatinin darah)
Apabila CVP tidak mungkin dilakukan, monitoring dan pencatatan balas cairan secara akurat sangat membantu agar tidak terjadi overhidrasi.
Pada Anak-anak :
Lakukan Rehidrasi (Pemberian cairan infus), larutan dektrosa 5 % atau 10 % atau NaCL 0,9 %, Dosis 1 jam pertama, 30 ml/kgBB atau 10 x kgBB per tetes/menit. Misalnya : anak dengan BB 10 kg = 10 x 10 tetes/menit, dilanjutkan 20 ml/kgBB (23Jam sisa), atau 7 tetes x kgBB/menit, dilanjutkan pemberian maintenace 10 ml/kgBB/hari atau 3 tetes/kgBB/menit
Awasi nadi, tensi dan pernafasan setiap 30 menit.
Sering terlihat pada pasien-pasien dengan :
Dehidrasi dengan hipovolemia (akibat muntah-muntah dan intake cairan kurang)
Pasien dengan diare dan peripheral circulatory failure (algid malaria)
Perdarahan masif GI tract
Mengikuti ruptur limpa
Dengan komplikasi septikaemia gram negative
Kolaps sirkulasi lebih lanjut berakibat komplikasi asidosis metabolik, respiratory distress dan gangguan fungsi / kerusakan jaringan.
Gejala : hipotensi dengan tekanan sistolik < 70 mm Hg pada orang dewasa dan < 50 mm Hg pada anak-anak, konstriksi vena perifer.
Gejala khas : kulit dingin, suhu 38-40 oC, mata cekung, cianosis pada bibir dan kuku, nafas cepat, nadi cepat dan dangkal, nyeri ulu hati, dapat disertai mual/muntah, diare berat.
Tindakan :
Koreksi hipovolemia dengan pemberian cairan yang tepat (NaCL 0,9 %, ringer laktat, dextrose 5 % in saline), plasma expander (darah segar, plasma, haemacell atau bila tidak tersedia dengan dextran 70) dalam waktu 1/2 - 1 jam pertama 500 ml, bila tidak ada perbaikan tensi dan tidak ada overhidrasi, beri 1000 ml, tetes diperlambat dan diulang bila dianggap perlu.
Bila memungkinkan, monitor dengan CVP ( tekanan dipelihara antara 0 s/d +5 cm)
Bila terjadi hipovolemia menetap, diberikan Dopamin dengan dosis inisial 2 ug/Kg/menit yang dilarutkan dalam dextrose 5 %. [pada hipovolemia kontra indikasi untuk pemberian inotropik karena tidak akan menaikkan TD malah menimbulkan takikardi yang justru akan merugikan. Bila hipovolemia sudah teratasi tapi TD belum naik, kemungkinan kontraktilitas miokard yang jelek ? diperbaiki dengan pemberian Dobutamin, bukan Dopamin, dengan dosis sampai 20 µg/kg BB/m] dosis dinaikkan secara hati-hati sampai tekanan sistolik mencapai 80-90 mm Hg.
Periksa kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglokemia.
Buat kultur darah dan resistensi test. Mulai segera pemberian antibiotik broad spektrum, misal : generasi ketiga sefalosporin bila tersedia, yang dapat dikombinasi dengan aminoglikosida bila fungsi renal sudah dipastikan baik (periksa juga ureum & kreatinin darah)
Apabila CVP tidak mungkin dilakukan, monitoring dan pencatatan balas cairan secara akurat sangat membantu agar tidak terjadi overhidrasi.
Pada Anak-anak :
Lakukan Rehidrasi (Pemberian cairan infus), larutan dektrosa 5 % atau 10 % atau NaCL 0,9 %, Dosis 1 jam pertama, 30 ml/kgBB atau 10 x kgBB per tetes/menit. Misalnya : anak dengan BB 10 kg = 10 x 10 tetes/menit, dilanjutkan 20 ml/kgBB (23Jam sisa), atau 7 tetes x kgBB/menit, dilanjutkan pemberian maintenace 10 ml/kgBB/hari atau 3 tetes/kgBB/menit
Awasi nadi, tensi dan pernafasan setiap 30 menit.
PENATALAKSANAAN syok Hipovolemik
Penanganan Sebelum di Rumah Sakit
Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut.
• Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dan kehilangan darah.
• Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.
• Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
• Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.
• Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.
• Pada tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perdebatan tentang penggunaan Military Antishock Trousers (MAST). MAST diperkenalkan tahun1960-an dan berdasarkan banyak kesuksesan yang dilaporkan, hal ini menjadi standar terapi pada penanganan syok hipovolemik sebelum ke rumah sakit pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an, “American College of Surgeon Commite on Trauma” memasukkan penggunaannya sebagai standar penanganan pasien trauma dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Sejak saat itu, penelitian telah gagal untuk menunjukkan perbaikan hasil dengan penggunaan MAST. “American College of Surgeon Commite on Trauma” tidak lama merekomendasikan penggunaan MAST.
Bidang Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi cairan.
• Memaksimalkan penghantaran oksigen
o Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
o Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman.
o Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.
o Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.
o Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).
o Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
o Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.
o Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.
• Kontol perdarahan lanjut
o Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.
o Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.
o Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan
o Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
o Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.
o Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.
o Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
o Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang berusaia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
• Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.
o Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru)
o Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.
o Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.
o Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.
• Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal sebelum control perdarahan.
o Selama perang dunia I, Cannon mengamati dan menandai pasien yang mengalami syok. Dia kemudian mengajukan suatu model hipotensi yang dapat terjadi pada perlukaan tubuh, dengan minimalisasi intensif perdarahan selanjutnya.
o Penemuan dari penelitian awal menunjukkan bahwa binatang yang mengalami perdarahan telah meningkat angka kelangsungan hidupnya jika binatang ini memperoleh resusitasi cairan. Namun, pada penelitian ini perdarahan dikontol dengan ligasi setelah binatang tersebut mengalami perdarahan.
o Selama perang Vietnam dan Korea, resusitasi cairan yang agresif dan akses yang cepat telah dilakukan. Tercatat bahwa pasien yang segera mendapatkan penanganan resusitasi yang agresif memperlihatkan hasil yang lebih baik, dan pada tahun 1970-an, prinsip ini diterapkan secara luas pada masyarakat sipil.
o Sejak saat itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah prinsip ini valid pada pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol. Sebagian besar dari penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan angka kelangsungan hidup pada hipotensi yang berat dan kasus yang terlambat ditangani. Teori ini mengatakan bahwa peningkatan tekanan menyebabkan perdarahan lebih banyak dan merusak bekuan darah yang baru terbentuk, di lain pihak hipotensi berat dapat meningkatkan risiko perfusi otak
o Pertanyaan yang belum terjawab dengan sempurna adalah sebagai berikut: mekanisme dan pola cedera yang mana yang disetujui untuk pengisian volume darah sirkulasi? Apakah tekanan darah yang adekuat, tetapi tidak berlebihan?
o Meskipun beberapa data menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 80-90 mmHg mungkin adekuat pada trauma tembus pada badan tanpa adanya cedera kepala, dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
o Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.
Penanganan Sebelum di Rumah Sakit
Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan untuk mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut.
• Pencegahan cedera lebih lanjut dilakukan pada kebanyakan pasien trauma. Vertebra servikalis harus diimobilisasi, dan pasien harus dibebaskan jika mungkin, dan dipindahkan ke tandu. Fiksasi fraktur dapat meminimalisir kerusakan neurovaskuler dan kehilangan darah.
• Meskipun pada kasus tertentu stabilisasi mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah. Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.
• Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
• Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.
• Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.
• Pada tahun-tahun terakhir ini, telah terjadi perdebatan tentang penggunaan Military Antishock Trousers (MAST). MAST diperkenalkan tahun1960-an dan berdasarkan banyak kesuksesan yang dilaporkan, hal ini menjadi standar terapi pada penanganan syok hipovolemik sebelum ke rumah sakit pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an, “American College of Surgeon Commite on Trauma” memasukkan penggunaannya sebagai standar penanganan pasien trauma dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok. Sejak saat itu, penelitian telah gagal untuk menunjukkan perbaikan hasil dengan penggunaan MAST. “American College of Surgeon Commite on Trauma” tidak lama merekomendasikan penggunaan MAST.
Bidang Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain: (1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi cairan.
• Memaksimalkan penghantaran oksigen
o Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
o Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman.
o Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.
o Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.
o Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).
o Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
o Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.
o Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.
• Kontol perdarahan lanjut
o Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.
o Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.
o Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan
o Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
o Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.
o Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.
o Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
o Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang berusaia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
• Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch, pentastarch, dan dextran 70.
o Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru)
o Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.
o Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran 70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama, tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau kelangsungan hidup.
o Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan resusitasi yang dapat digunakan, tetap dianjurkan untuk menggunakan Saline Normal atau Ringer Laktat. Di Amerika Serikat, satu alasan untuk menggunakan kristaloid untuk resusitasi adalah harga cairan tersebut.
• Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah kepada keadaan normal sebelum control perdarahan.
o Selama perang dunia I, Cannon mengamati dan menandai pasien yang mengalami syok. Dia kemudian mengajukan suatu model hipotensi yang dapat terjadi pada perlukaan tubuh, dengan minimalisasi intensif perdarahan selanjutnya.
o Penemuan dari penelitian awal menunjukkan bahwa binatang yang mengalami perdarahan telah meningkat angka kelangsungan hidupnya jika binatang ini memperoleh resusitasi cairan. Namun, pada penelitian ini perdarahan dikontol dengan ligasi setelah binatang tersebut mengalami perdarahan.
o Selama perang Vietnam dan Korea, resusitasi cairan yang agresif dan akses yang cepat telah dilakukan. Tercatat bahwa pasien yang segera mendapatkan penanganan resusitasi yang agresif memperlihatkan hasil yang lebih baik, dan pada tahun 1970-an, prinsip ini diterapkan secara luas pada masyarakat sipil.
o Sejak saat itu, banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan apakah prinsip ini valid pada pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol. Sebagian besar dari penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan angka kelangsungan hidup pada hipotensi yang berat dan kasus yang terlambat ditangani. Teori ini mengatakan bahwa peningkatan tekanan menyebabkan perdarahan lebih banyak dan merusak bekuan darah yang baru terbentuk, di lain pihak hipotensi berat dapat meningkatkan risiko perfusi otak
o Pertanyaan yang belum terjawab dengan sempurna adalah sebagai berikut: mekanisme dan pola cedera yang mana yang disetujui untuk pengisian volume darah sirkulasi? Apakah tekanan darah yang adekuat, tetapi tidak berlebihan?
o Meskipun beberapa data menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 80-90 mmHg mungkin adekuat pada trauma tembus pada badan tanpa adanya cedera kepala, dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
o Rekomendasi terbaru adalah resusitasi cairan yang agresif dilakukan dengan Ringer Laktat atau Saline Normal pada semua pasien dengan tanda-tanda dan gejala-gejala syok tanpa memperhatikan penyebab yang mendasari.
Farmakologi MALARIA
Obat anti malaria yang tersedia di
Indonesia antara lain klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin,
serta derivat artemisin. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk
profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa
komplikasi dalam program pemberantasan malaria, sulfadoksin-pirimetamin
digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria falciparum tanpa
komplikasi. Kina merupakan obat antimalaria pilihan untuk pengobatan radikal
malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan
untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Primakuin
digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis, pengobatan
radikal dan pengobatan malaria berat. Artemisin digunakan untuk pengobatan
malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrug
I. Pengobatan malaria falciparum
Lini pertama : Artesunat + Amodiakuin +
Primakuin
Dosis amodiakuin = 10 mg/kgBB (dosis tungal), artesunat = 4 mg/kgBB
(dosis tunggal), primakuin = 0,75 mgbasa/kgBB (dosis tunggal).
Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan
berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan
golongan umur. Dosis maksimal penderita dewasa yang dapat diberikan untuk
artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, dan primakuin 3 tablet.
Tabel 2. Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut
Kelompok Umur
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur
|
|||||
0-1 bln
|
2-11bln
|
1-4 th
|
5-9 th
|
10-14th
|
≥15th
|
||
1
|
Artesunat
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Amodiakuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¾
|
1½
|
2
|
2-3
|
|
2
|
Artesunat
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Amodiakuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
3
|
Artesunat
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Amodiakuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan
utama untuk pengobatan malaria falciparum. Pemakaian artesunat dan
amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit stadium aseksual, sedangkan
primakuin bertujuan untuk membunuh gametosit yang berada di dalam darah .
Pengobatan lini kedua malaria falciparum
diberikan, jika pengobatan lini pertama tidak efektif .Lini kedua: Kina +
Doksisiklin/Tetrasiklin + Primakuin
Dosis kina = 10mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari), doksisiklin =
4mg/kgBB/hr (dewasa, 2x/hr selama 7 hari), 2mg/kgBB/hr (usia 8-14th,2x/hr
selama 7 hari), tetrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak
memungkinkan berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan
berdasarkan golongan umur.
Tabel 3. Pengobatan Lini kedua Untuk Malaria falciparum .
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
|
||||
0-11 bln
|
1-4th
|
5-9th
|
10-14th
|
≥15th
|
||
1
|
Kina
|
*
|
3x½
|
3×1
|
3x½
|
3×2-3
|
Doksisiklin
|
-
|
-
|
-
|
2×1 **
|
2×1***
|
|
Primakuin
|
-
|
¾
|
1½
|
2
|
2-3
|
|
2-7
|
Kina
|
*
|
3x½
|
3×1
|
3x½
|
3×2-3
|
Doksisiklin
|
-
|
|
-
|
2×1**
|
2×1***
|
* :
dosis diberikan kg/bb
**: 2×50
mg doksisiklin
***:
2×100 mg doksisiklin
Tabel 4. Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falsiparum .
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur
|
||||
0-11 bln
|
1-4th
|
5-9th
|
10-14th
|
≥15th
|
||
1
|
Kina
|
*
|
3x½
|
3×1
|
3x½
|
3×2-3
|
Tetrasiklin
|
-
|
-
|
-
|
*
|
4×1**
|
|
Primakuin
|
-
|
¾
|
1½
|
2
|
2-3
|
|
2-7
|
Kina
|
*
|
3x½
|
3×1
|
3x½
|
3×2-3
|
Tetrasiklin
|
-
|
|
-
|
*
|
4×1**
|
*:
dosis diberikan kg/BB
**:
4×250 mg tetrasiklin
II. Pengobatan malaria vivax,
malaria ovale
Lini pertama: Klorokuin + Primakuin
Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan
malaria vivax dan malaria ovale. Pemakaian klorokuin
bertujuan untuk membunuh parasit stadium aseksual dan seksual. Pemberian
primakuin selain bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati, juga dapat
membunuh parasit aseksual di eritrosit .
Dosis total klorokuin = 25mgbasa/kgBB (1x/hr selama 3 hari),
primakuin =0,25 mg/kgBB/hr (selama 14 hari).
Apabila pemberian dosis obat tidak
memungkinkan berdasarkan berat badan penderita, pemberian obat dapat diberikan
berdasarkan golongan umur, sesuai dengan tabel.
Tabel 5. Pengobatan Malaria Vivax dan Malaria Ovale
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
|
|||||
0-1bln
|
2-11bln
|
1-4th
|
5-9th
|
10-14th
|
≥15th
|
||
1
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
|
2
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
|
3
|
Klorokuin
|
1/8
|
¼
|
½
|
1
|
1½
|
2
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
|
4-14
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
Pengobatan malaria vivax resisten klorokuin
Lini kedua: Kina + Primakuin
Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/hr selama 7 hari), primakuin =
0,25mg/kgBB/hari (selama 14 hari).
Dosis obat juga dapat ditaksir dengan memakai tabel dosis
berdasarkan golongan umur.
Tabel 6. Pengobatan Malaria Vivax Resisten Klorokuin .
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur
|
|||||
0-1bln
|
2-11bln
|
1-4th
|
5-9th
|
10-14th
|
≥15th
|
||
1-7
|
Kina
|
*
|
*
|
3x½
|
3×1
|
3x½
|
3×3
|
1-14
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
*: dosis diberikan kg/BB
Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Sama dengan regimen sebelumnya hanya dosis primakuin ditingkatkan.
Dosis klorokuin diberikan 1 kali per hari selama 3 hari, dengan
dosis total 25 mg/kgBB dan primakuin diberikan diberikan selama 14 hari dengan
dosis 0,5 mg/kgBB/hari 3. Dosis obat juga dapat ditaksir dengan
memakai tabel dosis berdasarkan golongan umur penderita .
Tabel 7.
Pengobatan Malaria Vivax Yang Relaps (Kambuh) .
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
|
|||||
0-1bln
|
2-11bln
|
1-4th
|
5-9th
|
10-14th
|
≥15th
|
||
1
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
Primakuin
|
-
|
-
|
½
|
1
|
1½
|
2
|
|
2
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
|
2
|
3
|
3-4
|
Primakuin
|
-
|
-
|
½
|
1
|
1½
|
2
|
|
3
|
Klorokuin
|
1/8
|
¼
|
½
|
1
|
1½
|
2
|
Primakuin
|
-
|
-
|
½
|
1
|
1½
|
2
|
|
4-14
|
Primakuin
|
-
|
-
|
½
|
1
|
1½
|
2
|
III. Pengobatan
malaria malariae
Kolorokuin 1 kali per hari selama 3 hari,
dengan dosis total 25 mg/kgBB. Klorokuin dapat membunuh parasit bentuk aseksual
dan seksual P.malariae . Pengobatan dapat juga diberikan
berdasarkan golongan umur penderita.
Tabel 8. Pengobatan Malaria Malariae
.
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet menurut kelompok umur (dosis tunggal)
|
|||||
0-1bln
|
2-11bln
|
1-4th
|
5-9th
|
10-14th
|
≥15th
|
||
1
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
2
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
3
|
Klorokuin
|
1/8
|
¼
|
½
|
1
|
1½
|
2
|
Farmakologi DHF
untuk mengatasi demam sebaiknya diberikan asetaminofen. salisilat tidak digunakan karena akan memicu perdarahan dan asidosis.
asetaminofen diberikan selama demam masih mencapai 39 derajat c, paling banyak 6 dosis dalam 24 jam.
kadang-kadang diperlukan obat penenang pada anak-anak yang sangat gelisah. kegelisahan ini bisa terjadi karena dehidrasi atau gangguan fungsi hati.
haus dan dehidrasi merupakan akibat dari demam tinggi, tidak adanya nafsu makan dan muntah.
Untuk mengganti cairan yang hilang harus diberikan cairan yang cukup melalui mulut atau melalui vena. Cairan yang diminum sebaiknya mengandung elektrolit seperti oralit. cairan yang lain yang bisa juga diberikan adalah jus buah-buahan
untuk mengatasi demam sebaiknya diberikan asetaminofen. salisilat tidak digunakan karena akan memicu perdarahan dan asidosis.
asetaminofen diberikan selama demam masih mencapai 39 derajat c, paling banyak 6 dosis dalam 24 jam.
kadang-kadang diperlukan obat penenang pada anak-anak yang sangat gelisah. kegelisahan ini bisa terjadi karena dehidrasi atau gangguan fungsi hati.
haus dan dehidrasi merupakan akibat dari demam tinggi, tidak adanya nafsu makan dan muntah.
Untuk mengganti cairan yang hilang harus diberikan cairan yang cukup melalui mulut atau melalui vena. Cairan yang diminum sebaiknya mengandung elektrolit seperti oralit. cairan yang lain yang bisa juga diberikan adalah jus buah-buahan
penderita harus segera dirawat bila
ditemukan gejala-gejala berikut :
pada tanda-tanda tersebut berarti penderita mengalami dehidrasi yang signifikan (>10% berat badan normal), sehingga diperlukan penggantian cairan segera secara intravena. cairan pengganti yang diberikan biasanya garam fisiologis, ringer laktat atau ringer asetat, larutan garam fisiologis dan glukosa 5%, plasma dan plasma substitute. pemberian cairan pengganti harus diawasi selama 24 - 48 jam, dan dihentikan setelah penderita terrehidrasi, biasanya ditandai dengan jumlah urine yang cukup, denyut nadi yang kuat dan perbaikan tekanan darah.. infus juga harus diberikan kalau kadar hematokrit turun sampai 40% . bila pemberian cairan intravena diteruskan setelah tanda-tanda ini dicapai, akan terjadi overhidrasi, mengakibatkan jumlah cairan berlebih dalam pembuluh darah, edema paru-paru dan gagal jantung. oksigen diberikan pada penderita dalam keadaan syok. transfusi darah hanya diberikan pada penderita dengan tanda-tanda perdarahan yang signifikan. |
PENCEGAHAN
pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena keempat jenis serotipe virus bisa mengakibatkan penyakit. perlindungan terhadap satu atau dua jenis serotipe ternyata meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius. saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat serotipe sekaligus. sampai sekarang satu-satunya usaha pencegahan atau pengendalian dengue dan dhf adalah dengan memerangi nyamuk yang mengakibatkan penularan. a. aegypti berkembang biak terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti wadah plastik, ban mobil bekas dan tempat-tempat lain yang menampung air hujan. nyamuk ini menggigit pada siang hari, beristirahat di dalam rumah dan meletakkan telurnya pada tempat-tempat air bersih tergenang. pencegahan dilakukan dengan langkah 3m :
di tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan insektisida yang membunuh larva nyamuk seperti abate. hal ini bisa mencegah perkembangbiakan nyamuk selama beberapa minggu, tapi pemberiannya harus diulang setiap beberapa waktu tertentu. di tempat yang sudah terjangkit dhf dilakukan penyemprotan insektisida secara fogging. tapi efeknya hanya bersifat sesaat dan sangat tergantung pada jenis insektisida yang dipakai. di samping itu partikel obat ini tidak dapat masuk ke dalam rumah tempat ditemukannya nyamuk dewasa. untuk perlindungan yang lebih intensif, orang-orang yang tidur di siang hari sebaiknya menggunakan kelambu, memasang kasa nyamuk di pintu dan jendela, menggunakan semprotan nyamuk di dalam rumah dan obat-obat nyamuk yang dioleskan. |
Farmakologi syok hivopolemik
Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi
Obat Anti Sekretorik
Obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta.
Somatostatin (Zecnil)
Secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit.
• Dosis
Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil
Anak-anak
Tidak dianjurkan
• Interaksi
Epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini.
• Kontraindikasi
Hipersensitifitas
Kehamilan
Risiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin.
• Perhatian
Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi jantung.
Ocreotide (Sandostatin)
Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama.
Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau pankreas.
• Dosis
Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari.
Anak-anak
1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W.
• Kontraindikasi
Hipersensitivitas
Kehamilan
Risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang.
• Perhatian
Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi
Tujuan farmakoterapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi
Obat Anti Sekretorik
Obat ini memiliki efek vasokonstriksi dan dapat mengurangi aliran darah ke sistem porta.
Somatostatin (Zecnil)
Secara alami menyebabkan tetrapeptida diisolasi dari hipotalamus dan pankreas dan sel epitel usus. Berkurangnya aliran darah ke sistem portal akibat vasokonstriksi. Memiliki efek yang sama dengan vasopressin, tetapi tidak menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner. Cepat hilang dalam sirkulasi, dengan waktu paruh 1-3 menit.
• Dosis
Dewasa : bolus intravena 250 mcg, dilanjutkan dengan 250-500 mcg/jam, infus selanjutnya; maintenance 2-5 hari jika berhasil
Anak-anak
Tidak dianjurkan
• Interaksi
Epinefrin, demeclocycline, dan tambahan hormon tiroid dapat mengurangi efek obat ini.
• Kontraindikasi
Hipersensitifitas
Kehamilan
Risiko yang fatal ditunjukkan pada binatang percobaan, tetapi tidak diteliti pada manusia, dapat digunakan jika keuntungannya lebih besar daripada risiko terhadap janin.
• Perhatian
Dapat menyebabkan eksaserbasi atau penyakit kandung kemih; mengubah keseimbangan pusat pengaturan hormon dan dapat menyebabkan hipotiroidisme dan defek konduksi jantung.
Ocreotide (Sandostatin)
Oktapeptida sintetik, dibandingkan dengan somatostatin memiliki efek farmakologi yang sama dengan potensi kuat dan masa kerja yang lama.
Digunakan sebagai tambahan penanganan non operatif pada sekresi fistula kutaneus dari abdomen, duodenum, usus halus (jejunum dan ileum), atau pankreas.
• Dosis
Dewasa: 25-50 mcg/jam intravena, kontinyu; dapat dilanjutkan dengan bolus intravena 50 mcg; penanganan hingga 5 hari.
Anak-anak
1-10 mcg/kgBB intravena q 12 jam; dilarutkan dalam 50-100 ml Saline Normal atau D5W.
• Kontraindikasi
Hipersensitivitas
Kehamilan
Risiko terhadap janin tidak diteliti pada manusia, tetapi telah ditunjukkan pada beberapa penelitian pada binatang.
• Perhatian
Efek samping yang utama berhubungan dengan perubahan motilitas gastrointestinal, termasuk mual, nyeri abdomen, diare, dan peningkatan batu empedu dan batu kandung kemih; hal ini karena perubahan pada pusat pengaturan hormon (insulin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), dapat timbul hipoglikemia, bradikardi, kelainan konduksi jantung, dan pernah dilaporkan terjadi aritmia, karena penghambatan sekresi TSH dapat terjadi hipotiroidisme, hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal, kolelithiasis dapat terjadi
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Malaria
adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh plasmodium, bahkan plasmodium
ini juga berbagai jenis dan masing-masing jenis dapat menyebabkan malaria yang
berbeda. Gejala yang timbul pada malaria yaitu demam, sakit kepala, anemia dan
splenomegali. Dan dari jenis malaria yang berbagai macam ini juga ada yang
kambuhan. Dapat dilakukan pencegahan seperti memberi obat yang standar yaitu
primakuin dan klorokuin.
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis
atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada
kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat
dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik
merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
DHF adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk aides aegypty.
DHF adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk aides aegypty.
B.
Saran
1. Sebagai perawat harus
meneliti lebih dalam tentang bagaimana asuhan keperawatan yang selama ini diberikan pada
penyakit malaria,DHF dan Syok Hipovolemik, apakah sudah sesuai belum dengan
kebutuhan klien. Gunanya untuk mencapai kesehatan yang maksimal.
2. Mahasiswa dapat memberikan informasi
kesehatan
Daftar pustaka
- WHO.
Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome in the Context
of the Integrated Management of Childhood Illness. 2005. Available at :
http//www.who.int
- Ferrandes
MDF : Infectious Disease Dengue Haemorrhagic Fever. 2007. Available at :
http//www.medstudent.com
- Shepherd
SM, Hinfey PB and Shoff. Dengue Haemorrhagic Fever. 2007. Available at :
http//emedicine.com
- Amin P,
Bhandare and Srivastava A. Dengue, DHF, DSS. 2007. Available at :
http//www.bjh.org
- Afranio
Kritski and Fernando Augusto Fiuza de Melo. Dengue Haemmorhagic Fever.
2007. Available at : http//www.dengue int.com
- Rauscher GE
and Schwartz RA. Dengue. 2008. Available at : http//emedicine.com
- WHO.
Gudelines for Treatment of Dengue Fever/Dengue Haemorrhagic Fever in Small
Hospitals. 1999. Available at : http//www.who.int
- Hadinegoro
SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. 2006. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
- WHO. Dengue
and Dengue Haemorrhagic Fever. 1999. Available at : http//www.who.int
- Soedarmo
SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis, Edisi II. 2008. Ikatan Dokter Anak Indonesia
- Halstead
SB. Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever. In : Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, editors Nelson textbook of Pediatrics. 18th
ed.Philadelphia : Sanders. 2007. p.1412-1414
- Departemen
Kesehatan RI, Pedoman
Penatalaksanaan Kasus Malaria Di Indonesia, Jakarta,
2006;Hal:1-12,15-23,67-68.
- Gunawan S.
Epidemiologi Malaria. Dalam:
Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan Penanganan.
Jakarta:EGC, 2000;hal.1-15.
- Harijanto
PN, Langi J, Richie TL. Patogenesa
Malaria Berat. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan
Penanganan. Jakarta:EGC, 2000;hal.118-126
- Harijanto
PN. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III, edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta; 2006: hal.1754-1760
- Kartono M.
Nyamuk Anopheles:Vektor penyakit
Malaria. MEDIKA. No.XX, Tahun XXIX. Jakarta, 2003:Hal.615.
- Nugroho A
& Tumewu WM. Siklus Hidup
Plasmodium Malaria. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis Dan
Penanganan. Jakarta:EGC, 2000;hal.38-52.
- Ramdja M.
Mekanisme Resistensi Plasmodium Falsiparum Terhadap Klorokuin.
MEDIKA. No.XI, Tahun ke XXIII. Jakarta, 1997;Hal.873.
- Rampengan
TH. Malaria Pada Anak. Dalam:
Harijanto PN (editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi
Klinis Dan Penanganan. Jakarta:EGC, 2000;hal.249-260.