BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Di negara maju, gangguan jiwa berupa
kecemasan menempati posisi pertama dibandingkan dengan kasus lain. Kecemasan
merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkaitan dengan adanya rasa
terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang begitu tidak begitu
jelas. Kecemasan dengan intensitas nilai ancaman yang wajar dapat dianggap
memiliki nilai positif sebagai motivasi, tetapi apabila intensitasnya begitu
kuat dan bersifat negatif justru akan
menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu terhadap keadaan fisik dan psikis
individu yang bersangkutan.
Rasa cemas
merupakan sesuatu perasaan gelisah terhadap suatu yang diharapkan. Perasaan
cemas berhubungan dengan harapan seseorang dalam menghadapi sesuatu yang
mengerikan atau menakutkan. Rasa cemas lalu berhubungan erat dengan masa depan,
dan ia sering dapat diantisipasi. Sebaliknya rasa takut merupakan respon
terhadap sesuatu bahaya yang timbul pada saat ini.
Kecemasan dapat
dialami oleh siapapun dan dimanapun serta kapanpun tergantung dari faktor
pencetus dari kecemasan tersebut. Fakta membuktikan bahwa diseluruh lapisan
dunia kecemasan paling banyak terjadi setiap harinya, hal ini disebabkan
semakin kongkretnya masalah yang terjadi saat ini.
1.2.Tujuan
1.
Tujuan Umum
Mengetahui
konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien lansia dengan Kecemasan.
2.
Tujuan Khusus
a. Mahasiswa
dapat mengetahui asuhan keperawatan apa yang harus di berikan pada pasien lansia dengan kecemasan.
b. Mahasiswa
dapat mengetahui pengertian, perkembangan
perilaku lansia, factor yang menyebabkan cemas, perilaku
lansia dengan cemas, manifestasi klinis dan tingkat kecemasan,
serta pengkajian pasien lansia dengan kecemasan.
c. Mahasiswa
dapat mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien lansia dengan kecemasan.
d.
1.3.Manfaat
a. Mahasisawa
dapat membuat asuhan keperawatan yang cocok atau sesuai pasien dengan
kecemasan, baik di rumah sakit jiwa, maupun di masyarakat
pada umumnya.
b. Mahasiswa
mampu memberikan penanggulangan terhadap
ganguan jiwa khususnya kecemasan pada lansia.
c. Mahasiswa
dapat memberikan penanganan darurat yang tepat jika menemui pasien dengan kecemasan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kasus
Seorang
perempuan berumur 56 tahun di rawat di RS, pada saat pengkajian didapatkan data
klien tidak respon terhadap lingkungan, terlihat nafas tersengal-sengal,
palpitasi, keluar keringat dingin, mual dan muntah 1 kali,terjadi
depersonalisasi, dari anamneses diketahui klien merasa cemas terhadap suaminya
yang sedang naik pesawat terbang dan dikabarkan hilang. TD : 160/90 mmHg, RR:
30x/menit, klien mengatakan takut kehilangan suaminya dan ketika didekati
perawat klien menolak dan berusaha memukul.
2.2Konsep
Teori
1.
Perkembangan Perilaku pada Lansia
Badan kesehatan dunia (WHO)
menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses penuaan yang
berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. Lansia banyak
menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan
terintegrasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi
4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia (elderly) 60
-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old)
diatas 90 tahun.
Usia lanjut
merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan manusia di dunia. Usia
tahap ini dimulai dari 60 tahunan sampai akhir kehidupan. Usia lanjut merupakan
istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang akan mengalami proses
menjadi tua, dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana
pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit
demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi.
Tahap usia
lanjut adalah tahap di mana terjadi penuaan dan penurunan, yang penururnanya
lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan dari pada tahap usia baya. Penuaan
merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan
sel, yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia , penuaan
dihubungkan dengan perubahan degenerative pada kulit, tulang jantung, pembuluh
darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainya. Dengan kemampuan
regeneratife yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit,
sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain. Penurunan ini
terutama penurunan yang terjadi pada kemampuan otak.
Perubahan yang terjadi pada lansia
Perkembangan jasmani
Penuaan
terbagi atas penuaan primer ( primary aging) dan penuaan sekunder (secondary
aging). Pada penuaan primer tubuh mulai melemah dan mengalami penurunan alamiah.
Sedangkan pada proses penuaan sekunder, terjadi proses penuaan karena
faktor-faktor eksteren, seperti lingkungan ataupun perilaku. Berbagai paparan
lingkungan dapat dapat mempengaruhi proses penuaan, misalnya cahaya ultraviolet
serta gas karbindioksida yang dapat menimbulkan katarak, ataupun suara yang
sangat keras seperti pada stasiun kereta api sehingga dapat menimbulkan
berkurangnya kepekaan pendengaran. Selain hal yang telah disebutkan di atas
perilaku yang kurang sehat juga dapat mempengaruhi cepatnya proses penuaan,
seperti merokok yang dapat mengurangi fungsi organ pernapasan.
Penuaan
membuat sesorang mengalami perubahan postur tubuh. Kepadatan tulang dapat
berkurang, tulang belakang dapat memadat sehingga membuat tulang punggung
menjadi telihat pendaek atau melengkung. Perubahan ini dapat mengakibatkan
kerapuhan tulang sehingga terjadi osteoporosis, dan masalah ini merupakan hal
yang sering dihadapi oleh para lansia.
Penuaan yang
terlihat pada kulit di seluruh tubuh lansia, kulit menjadi semakin menebal dan
kendur atau semakin banyak keriput yang terjadi. Rambut yang menjadi putih juga
merupakan salah satu cirri-ciri yang menandai proses penuaan. Kulit yang menua
menjadi menebal, lebih terlihat pucat dan kurang bersinar. Perubahan-perubahan yang
terjadi dalam lapisan konektif ini dapat mengurangi kekuatan dan elasitas
kulit, sehingga para lansia ini menjadi lebih rentan untuk terjadinya
pendarahan di bawah kulit yang mengakibatkan kulit mejadi tampak biru dan
memar. Pada penuaan kelenjar ini mengakibatkan kelenjar kulit mengasilkan
minyak yang lebih sedikit sehingga menyebabkan kulit kehilangan kelembabanya
dan mejadikan kulit kering dan gatal-gatal. Dengan berkurangnya lapisan lemak
ini resiko yang dihadapi oleh lansia menjadi lebih rentan untuk mengalami
cedera kulit.
Penuaan juga
mengubah sistim saraf. Masa sel saraf berkurang yang menyebabkan atropy pada
otak spinal cord. Jumlah sel berkurang, dan masing-masing sel memiliki lebih
sedikit cabang. Perubahan ini dapat memperlambat kecepatan transmisi pesan
menuju otak. Setelah saraf membawa pesan, dibutuhkan waktu singkat untuk
beristirahat sehingga tiidak dimungkinkan lagi mentrasmisikan pesan yang lain.
Selain itu juga terdapat penumpukan produksi buangan dari sel saraf yang
mengalami atropy pada lapisan otak yang menyebabkan lapisan plak atau noda.
Orang lanjut
usia juga memiliki berbagai resio pada sitem saraf, mislanya berbagai jenis
infeksi yang diderita oleh seorang lansia juga dapat mempengaruhi proses
berfikir ataupun perilaku. Penyebab lain yang menyebabkan kesulitan sesaat
dalam proses berfikir dan perilaku adalah gangguan regulasi glukosa dan
metabolisme lansia yang mengidap diabetes. Fluktuasi tingkat glukosa dapat
menebabkan gangguan berfikr. Perubahan signifikan dalam ingatan, berfikir atau
perilakuan dapat mempengaruhi gaya hidup seorang lansia. Ketika terjadi
degenerasi saraf, alat-alat indra dapat terpengaruh. Refleks dapat berkurang
atau hilang.
Alat-alat
indra persebtual juga mengalami penuaan sejalan dengan perjalanan usia. Alat-alat
indra menjadi kuranng tajam, dan orang dapat mengalami kesulitan dalam
membedakan sesuatu yang lebih detail, misalnya ketika seorang lansia di suruh
untuk membaca koran maka orang ini akan mengalami kesulitan untuk membacanya,
sehingga dibutuhkan alat bantu untuk membaca berupa kacamata. Perubahan alat
sensorik memiliki dampak yang besar pada gaya hidup sesorang. Seseorang dapat
mengalami masalah dengan komunikasi, aktifitas, atau bahkan interaksi sosial.
Pendengaran
dan pengelihatan merupakan indra yang paling banyak mengalami perubahan,
sejalan dengan proses penuaan indra pendengaran mulai memburuk. Gendang telinga
menebal sehingga tulang dalam telinga dan stuktur yang lainya menjadi
terpengaruh. Ketajaman pendengaran dapat berkurang karena terjadi perubhan
saraf audiotorik. Kerusakan indara pendengaran ini juga dapat terjadi karena
perubahan pada lilin telinga yang biasa terjadi seiring bertambahnya usia.
Struktur
mata juga berubah karena penuaan. Mata memproduksi lebih sedikit air mata,
sehingga dapat me,buat mata menjadi kering. Kornea menjadi kurang sensitive.
Pada usia 60 tahun, pupil mata berkurang sepertiga dari ukuran ketika berusia
20 tahun. Pupil dapat bereaksi lebih lambat terhadap perubahan cahaya gelap
ataupun terang. Lensa mata menjadi kuning, kurang fleksibel, dan apabila
memandang menjadi kabur dan kurang jelas. Bantalan lemak pendukung berkurang,
dan mata tenggelam ke kantung belakang. Otot mata menjadikan mata kurang dapat
berputar secara sempurna, cairan di dalam mata juga dapat berubah. Masalah yang
paling yang paling umum dialami oleh lansia adalah kesulitan untuk mengatur
titik focus mata pada jarak tertentu sehingga pandangan menjdi kurang jelas.
Perubahan
fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada alat indera dan sistem saraf mereka.
Sistem pendengaran, penglihatan sangat nyata sekali perubahan penurunan
keberfungsian alat indera tersebut. Sedangkan pada sistem sarafnya adalah mulai
menurunnya pemberian respon dari stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Pada
lansia juga mengalami perubahan keberfungsian organ-organ dan alat reproduksi
baik pria ataupun wanita. Dari perubahan-perubahan fisik yang nyata dapat
dilihat membuat lansia merasa minder atau kurang percaya diri jika harus
berinteraksi dengan lingkungannya (J.W.Santrock, 2002 :198). Dari penjelasan di
atas dapat di tarik kesimpulan berkenaan dengan cirri-ciri fisik lansia yaitu
sebagi berikut (1) postur tubuh lansia mulai berubah bengkok (bungkuk),(2)
kondisi kulit mulai kering dan keriput,(3) daya ingat mulai menurun,(4) kondisi
mata yang mulai rabun,(5) pendengaran yang berkurang.
Perkembangan Intelektual
Menurut
david Wechsler dalam Desmita (2008) kemunduran kemampuan mental merupakan
bagian dari proses penuaan organisme sacara umum, hampir sebagian besar
penelitian menunjukan bahwa setelah mencapai puncak pada usia antara 45-55
tahun, kebanyakan kemampuan seseorang secara terus menerus mengalami penurunan,
hal ini juga berlaku pada seorang lansia.
Ketika
lansia memperlihatkan kemunduran intelektualiatas yang mulai menurun,
kemunduran tersebut juga cenderung mempengaruhi keterbatasan memori tertentu.
Misalnya seseorang yang memasuki masa pensiun, yang tidak menghadapi
tantangan-tantangan penyesuaian intelektual sehubungan dengan masalah
pekerjaan, dan di mungkinkan lebih sedikit menggunakan memori atau bahkan
kurang termotivasi untuk mengingat beberpa hal, jelas akan mengalami kemunduran
memorinya. Menurut Ratner et.al dalam desmita (20080 penggunaan bermacam-macam
strategi penghafalan bagi orang tua , tidak hanya memungkinkan dapat mencegah
kemunduran intelektualitas, melinkan dapat menigkatkan kekuatan memori pada
lansia tersebut.
Kemerosotan
intelektual lansia ini pada umumnya merupakan sesuatau yang tidak dapat
dihindarkan, disebabkan berbagai faktor, seperti penyakit, kecemasan atau
depresi. Tatapi kemampuan intelektual lansia tersebut pada dasarnya dapat
dipertahankan. Salah satu faktor untuk dapat mempertahankan kondisi tersebut
salah satunya adalah dengan menyediakan lingkungan yang dapat merangsang
ataupun melatih ketrampilan intelektual mereka, serta dapat mengantisipasi
terjadinya kepikunan.
Perkembangan Emosional
Memasuki masa tua, sebagian besar
lanjut usia kurang siap menghadapi dan menyikapi masa tua tersebut, sehingga
menyebabkan para lanjut usia kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan
masalah yang dihadapi (Widyastuti, 2000).
Munculnya rasa tersisih, tidak
dibutuhkan lagi, ketidak ikhlasan menerima kenyataan baru, seperti penyakit yang tidak kunjung
sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perasaan
yang tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia.
Hal – hal tersebut di atas yang
dapat menjadi penyebab lanjut usia kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri.
Bahkan sering ditemui lanjut usia dengan penyesuaian diri yang buruk. Sejalan
dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan fungsional, keadaan depresi dan
ketakuatan akan mengakibatkan lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian
suatu masalah. Sehingga lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan
diri cenderung menjadi semakin sulit penyesuaian diri pada masa-masa
selanjutnya.
Yang dimaksud dengan penyesuaian
diri pada lanjut usia adalah kemampuan orang yang berusia lanjut untuk
menghadapi tekanan akibat perubahan perubahan fisik, maupun sosial psikologis yang
dialaminya dan kemampuan untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam
diri dengan tuntutan dari lingkungan, yang disertai dengan kemampuan
mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi
kebutuhan– kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru.
Pada orang – orang dewasa lanjut
atau lanjut usia, yang menjalani masa pensiun dikatakan memiliki penyesuaian
diri paling baik merupakan lanjut usia yang sehat, memiliki pendapatan yang
layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk
diantaranya teman – teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan
kehidupannya sebelum pensiun (Palmore, dkk, 1985).
Orang – orang dewasa lanjut dengan penghasilan
tidak layak dan kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri dengan stres
lainnya yang terjadi seiring dengan pensiun, seperti kematian pasangannya,
memiliki lebih banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan fase pensiun
(Stull & Hatch, 1984).
Penyesuaian diri lanjut usia pada
kondisi psikologisnya berkaitan dengan dimensi emosionalnya dapat dikatakan
bahwa lanjut usia dengan keterampilan emosi yang berkembang baik berarti
kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai
kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat
menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosinya akan mengalami pertarungan
batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi ataupun untuk
memiliki pikiran yang jernih.
Ditinjau dari aspek yang lain
respon-respon emosional mereka lebih spesifik, kurang bervariasi, dan kurang
mengena pada suatu peristiwa daripada orang-orang muda. Bukan hal yang aneh
apabila orang-orang yang berusia lanjut memperlihatkan tanda-tanda kemunduran
dalam berperilaku emosional; seperti sifat-sifat yang negatif, mudah marah,
serta sifat-sifat buruk yang biasa terdapat pada anak-anak.
Orang yang berusia lanjut kurang
memiliki kemampuan untuk mengekspresikan kehangatan dan persaan secara spontan
terhadap orang lain. Mereka menjadi kikir dalam kasih sayang. Mereka takut
mengekspresikan perasaan yang positif kepada orang lain karena melalui
pengalaman-pengalaman masa lalu membuktikan bahwa perasaan positif yang
dilontarkan jarang memperoleh respon yang memadai dari orang-orang yang diberi
perasaan yang positif itu. Akibatnya mereka sering merasa bahwa usaha yang
dilakukan itu akan sia-sia. Semakin orang berusia lanjut menutup diri, semakin
pasif pula perilaku emosional mereka.
Perkembangan Spiritual
Sebuah
penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama menunjukkan
tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan optimisme.
Kebutuhan spiritual (keagamaan) sangat berperan memberikan ketenangan batiniah,
khususnya bagi para Lansia. Rasulullah bersabda “semua penyakit ada obatnya
kecuali penyakit tua”. Sehingga religiusitas atau penghayatan keagamaan besar
pengaruhnya terhadap taraf kesehatan fisik maupun kesehatan mental, hal ini
ditunjukan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hawari (1997), bahwa :
1.Lanjut
usia yang nonreligius angka kematiannya dua kali lebih besar daripada orang
yang religius.
2.Lanjut
usia yang religius penyembuhan penyakitnya lebih cepat dibandingkan yang non
religius.
3.Lanjut
usia yang religius lebih kebal dan tenang menghadapi operasi atau masalah hidup
lainnya.
4.Lanjut
usia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stres daripada yang
nonreligius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih kecil.
5.Lanjut
usia yang religius tabah dan tenang menghadapi saat-saat terakhir (kematian)
daripada yang nonreligius.
5. Perubahan
Sosial
Umumnya
lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka, walaupun pelepasan itu
dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang memutuskan hubungan dengan
dunia sosialnya akan mengalami kepuasan. Pernyataan tadi merupakan disaggrement
theory. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga mempengaruhi baik
buruknya kondisi fisik dan sosial lansia. (J.W.Santrock, 2002, h.239).
Perubahan
Kehidupan Keluarga
Sebagian
besar hubungan lansia dengan anak jauh kurang memuaskan yang disebabkan oleh
berbagai macam hal. Penyebabnya antara lain : kurangnya rasa memiliki kewajiban
terhadap orang tua, jauhnya jarak tempat tinggal antara anak dan orang tua.
Lansia tidak akan merasa terasing jika antara lansia dengan anak memiliki
hubungan yang memuaskan sampai lansia tersebut berusia 50 sampai 55 tahun.
Orang tua
usia lanjut yang perkawinannya bahagia dan tertarik pada dirinya sendiri maka
secara emosional lansia tersebut kurang tergantung pada anaknya dan sebaliknya.
Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal keuangan. Karena lansia sudah
tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya
pun tidak semua dapat menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka
penuhi.
Hubungan Sosio-Emosional Lansia
Masa penuaan
yang terjadi pada setiap orang memiliki berbagai macam penyambutan. Ada
individu yang memang sudah mempersiapkan segalanya bagi hidupnya di masa tua,
namun ada juga individu yang merasa terbebani atau merasa cemas ketika mereka
beranjak tua. Takut ditinggalkan oleh keluarga, takut merasa tersisihkan dan
takut akan rasa kesepian yang akan datang.
Keberadaan
lingkungan keluarga dan sosial yang menerima lansia juga akan memberikan
kontribusi positif bagi perkembangan sosio-emosional lansia, namun begitu pula
sebaliknya jika lingkungan keluarga dan sosial menolaknya atau tidak memberikan
ruang hidup atau ruang interaksi bagi mereka maka tentunya memberikan dampak
negatif bagi kelangsungan hidup lansia.
2.
Faktor yang Menyebabkan terjadinya Kecemasan
![Description: Kecemasan](file:///C:/Users/Dydy/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.jpg)
Kecemasan dapat
didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak
tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang
tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998).
Kecemasan adalah
suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai dengan
tanda somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem syaraf otonom.
Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan sering
kali merupakan suatu emosi yang normal (Kusuma W, 1997).
Kecemasan adalah
respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal,
samar-samar atau konfliktual (Kaplan, Sadock, 1997).
Teori
Kecemasan
Kecemasan
merupakan suatu respon terhadap situasi yang penuh dengan tekanan. Stres dapat
didefinisikan sebagai suatu persepsi ancaman terhadap suatu harapan yang
mencetuskan cemas. Hasilnya adalah bekerja untuk melegakan tingkah laku
(Rawlins, at al, 1993). Stress dapat berbentuk psikologis, sosial atau fisik.
Beberapa teori memberikan kontribusi terhadap kemungkinan faktor etiologi dalam
pengembangan kecemasan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Teori Psikodinamik
Freud (1993)
mengungkapkan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik psikis yang tidak
disadari. Kecemasan menjadi tanda terhadap ego untuk mengambil aksi penurunan
cemas. Ketika mekanisme diri berhasil, kecemasan menurun dan rasa aman datang
lagi. Namun bila konflik terus
berkepanjangan, maka kecemasan ada pada tingkat tinggi. Mekanisme pertahanan
diri dialami sebagai simptom, seperti phobia, regresi dan tingkah laku
ritualistik. Konsep psikodinamik menurut Freud ini juga menerangkan bahwa
kecemasan timbul pertama dalam hidup manusia saat lahir dan merasakan lapar
yang pertama kali. Saat itu dalam kondisi masih lemah, sehingga belum mampu
memberikan respon terhadap kedinginan dan kelaparan, maka lahirlah kecemasan
pertama. Kecemasan berikutnya muncul apabila ada suatu keinginan dari Id untuk
menuntut pelepasan dari ego, tetapi tidak mendapat restu dari super ego, maka
terjadilah konflik dalam ego, antara keinginan Id yang ingin pelepasan dan
sangsi dari super ego lahirlah kecemasan yang kedua. Konflik-konflik tersebut
ditekan dalam alam bawah sadar, dengan potensi yang tetap tak terpengaruh oleh
waktu, sering tidak realistik dan dibesar-besarkan. Tekanan ini akan muncul ke
permukaan melalui tiga peristiwa, yaitu : sensor super ego menurun, desakan Id
meningkat dan adanya stress psikososial, maka lahirlah kecemasan-kecemasan
berikutnya (Prawirohusodo, 1988).
b. Teori Perilaku
Menurut teori perilaku, Kecemasan berasal dari suatu respon terhadap
stimulus khusus (fakta), waktu cukup lama, seseorang mengembangkan respon
kondisi untuk stimulus yang penting. Kecemasan tersebut merupakan hasil
frustasi, sehingga akan mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan
yang di inginkan.
c. Teori Interpersonal
Menjelaskan bahwa kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan antar
individu, sehingga menyebabkan individu bersangkutan merasa tidak berharga.
d Teori Keluarga
Menjelaskan bahwa kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata akibat
adanya konflik dalam keluarga.
e. Teori Biologik
Beberapa kasus kecemasan (5 - 42%), merupakan suatu perhatian terhadap
proses fisiologis (Hall, 1980). Kecemasan ini dapat disebabkan oleh penyakit
fisik atau keabnormalan, tidak oleh konflik emosional. Kecemasan ini termasuk
kecemasan sekunder (Rockwell cit stuart & sundeens, 1998).
Faktor Predisposisi Kecemasan
Setiap perubahan dalam kehidupan atau peristiwa kehidupan yang dapat menimbulkan
keadaan stres disebut stresor. Stres yang dialami seseorang dapat menimbulkan
kecemasan, atau kecemasan merupakan manifestasi langsung dari stres kehidupan
dan sangat erat kaitannya dengan pola hidup (Wibisono, 1990).
Berbagai faktor predisposisi yang dapat menimbulkan kecemasan (Roan, 1989)
yaitu faktor genetik, faktor organik dan faktor psikologi. Pada pasien yang
akan menjalani operasi, faktor predisposisi kecemasan yang sangat berpengaruh
adalah faktor psikologis, terutama ketidak pastian tentang prosedur dan operasi
yang akan dijalani.
Gejala Kecemasan
Penderita yang mengalami kecemasan biasanya memiliki gejala-gejala yang khas dan terbagi dalam beberapa fase, yaitu :
a. Fase 1
Keadan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh
mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari secepat-cepatnya).
Pada fase ini tubuh merasakan tidak enak sebagai akibat dari peningkatan
sekresi hormon adrenalin dan nor adrenalin.
Oleh karena itu, maka gejala adanya kecemasan dapat berupa rasa tegang di
otot dan kelelahan, terutama di otot-otot dada, leher dan punggung. Dalam
persiapannya untuk berjuang, menyebabkan otot akan menjadi lebih kaku dan
akibatnya akan menimbulkan nyeri dan spasme di otot dada, leher dan punggung.
Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akan menimbulkan tremor dan
gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan (Wilkie, 1985).
Pada fase ini kecemasan merupakan mekanisme peningkatan dari sistem
syaraf yang mengingatkan kita bahwa system syaraf fungsinya mulai gagal
mengolah informasi yang ada secara benar (Asdie, 1988).
b. Fase 2 (dua)
Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan
otot, gangguan tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa
mengontrol emosinya dan tidak ada motifasi diri (Wilkie, 1985).
Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah menangis tanpa sebab, yang
beberapa saat kemudian menjadi tertawa. Mudah menangis yang berkaitan dengan
stres mudah diketahui. Akan tetapi kadang-kadang dari cara tertawa yang agak
keras dapat menunjukkan tanda adanya gangguan kecemasan fase dua (Asdie,
1988). Kehilangan motivasi diri bisa terlihat pada keadaan seperti
seseorang yang menjatuhkan barang ke tanah, kemudian ia berdiam diri saja
beberapa lama dengan hanya melihat barang yang jatuh tanpa berbuat sesuatu
(Asdie, 1988).
c. Fase 3
Keadaan kecemasan fase satu dan dua yang tidak teratasi sedangkan stresor
tetap saja berlanjut, penderita akan jatuh kedalam kecemasan fase tiga. Berbeda
dengan gejala-gejala yang terlihat pada fase satu dan dua yang mudah di
identifikasi kaitannya dengan stres, gejala kecemasan pada fase tiga umumnya
berupa perubahan dalam tingkah laku dan umumnya tidak mudah terlihat kaitannya
dengan stres. Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti :
intoleransi dengan rangsang sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap
sesuatu yang sebelumnya telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap
sesuatu yang sepintas terlihat sebagai gangguan kepribadian (Asdie, 1988).
A.
Penyebab
Menurut
Sigmund Freud, seorang pakar psikologi, kecemasan akan muncul ketika:
1) Id (rangsangan naluri yang menuntut pemuasan segera) muncul sebagai suatu rangsangan yang mendorong ego untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima lingkungan. Oleh Freud disebut sebagai Neurotic Anxiety.
1) Id (rangsangan naluri yang menuntut pemuasan segera) muncul sebagai suatu rangsangan yang mendorong ego untuk melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima lingkungan. Oleh Freud disebut sebagai Neurotic Anxiety.
2) Ego
(bagian dari kepribadian manusia yang memberi kesadaran akan adanya dunia di
luar dirinya, dan kemungkinan untuk berorientasi pada realita) menyadari akan
adanya hal yang menguatirkan. Inilah yang menyebabkan Realistic Anxiety,
menurut Freud.
3) Super Ego
(kesadaran moral akan apa yang baik dan jahat) menjadi begitu kuat sehingga
menimbulkan perasaan bersalah dan rasa malu, yang disebut Moral Anxiety oleh
Freud.
Sue, dkk
(dalam Kartikasari, 1995) menyebutkan bahwa manifestasi kecemasan terwujud
dalam empat hal berikut ini:
a.
Manifestasi kognitif, yang terwujud dalam pikiran seseorang, seringkali
memikirkan tentang malapetaka atau kejadian buruk yang akan terjadi.
b. Perilaku
motorik, kecemasan seseorang terwujud dalam gerakan tidak menentu seperti
gemetar.
c. Perubahan
somatik, muncul dalam keadaaan mulut kering, tangan dan kaki dingin, diare,
sering kencing, ketegangan otot, peningkatan tekanan darah dan lain-lain.
Hampir semua penderita kecemasan menunjukkan peningkatan detak jantung,
respirasi, ketegangan otot dan tekanan darah.
d. Afektif,
diwujudkan dalam perasaan gelisah, dan perasaan tegang yang berlebihan.
3.
Perilaku pada Lansia dengan Kecemasan
Orang lanjut
usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia memiliki status kelompok
minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang
jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti : lansia lebih
senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain.
Usia lanjut
merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang
dari faktor fisik dan faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada
psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada
lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang
rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan
lama terjadi.
Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan
karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada
lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar
tekanan dari lingkungan.
Penyesuaian
yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang
lanjut usia membuat lansia cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk.
Lansia lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang
buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.
4.
Tingkat Kecemasan
Ada empat
tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik (Townsend, 1996).
- Kecemasan
ringan; Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar
dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada
tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat,
kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku
sesuai situasi.
- Kecemasan
sedang; Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah
yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.
Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat,
kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot
meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit,
mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian
selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah
tersinggung, tidak sabar,mudah lupa, marah dan menangis.
- Kecemasan
berat; Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang.
Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu
yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain.
Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada
suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah
mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia),
sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau
belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk
menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
- Panik;
Panik
berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami
kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini
adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis,
pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang
sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi.
Faktor predisposisi
Berbagai
teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal ansietas :
1. Dalam pandangan psikoanalitik, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma- norma budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi hambatan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
1. Dalam pandangan psikoanalitik, ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian, id dan superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif seseorang, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma- norma budaya seseorang. Ego atau Aku, berfungsi menengahi hambatan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
2.
Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap
tidak adanya penerimaan dari hubungan interpersonal. Ansietas juga berhubungan
dengan perkembangan, trauma seperti perpisahan dan kehilangan sehingga
menimbulkan kelemahan spesifik. Orang dengan harga diri rendah mudah mengalami
perkembangan ansietas yang berat.
3.
Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala
sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Daftar tentang pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa
dalam kehidupan dininya dihadapkan pada ketakutan yng berlebihan lebih sering
menunjukkan ansietas pada kehidupan selanjutnya.
4.
Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas merupakan hal yang biasa
ditemui dalam suatu keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan
antara gangguan ansietas dengan depresi.
5.
Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus
benzodiazepine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur ansietas penghambat
dalam aminobutirik. Gamma neuroregulator (GABA) juga mungkin memainkan peran
utama dalam mekanisme biologis berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya
endorfin. Selain itu telah dibuktikan kesehatan umum seseorang mempunyai akibat
nyata sebagai predisposisi terhadap ansietas. Ansietas mungkin disertai dengan
gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk mengatasi
stressor.
Faktor presipitasi
Stressor pencetus
mungkin berasal dari sumber internal atau eksternal. Stressor pencetus dapat
dikelompokkan menjadi 2 katagori :
1.
Ancaman terhadapintegritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang
akan datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktifitas hidup sehari-
hari.
2.
Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri
dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
Respon Fisiologis terhadap Kecemasan
- Kardio
vaskuler; Peningkatan
tekanan darah, palpitasi, jantung berdebar, denyut nadi meningkat, tekanan
nadi menurun, syock dan lain-lain.
- Respirasi;
napas
cepat dan dangkal, rasa tertekan pada dada, rasa tercekik.
- Kulit:
perasaan
panas atau dingin pada kulit, muka pucat, berkeringat seluruh tubuh, rasa
terbakar pada muka, telapak tangan berkeringat, gatal-gatal.
- Gastro
intestinal;
Anoreksia, rasa tidak nyaman pada perut, rasa terbakar di
epigastrium, nausea, diare.
- Neuromuskuler;
Reflek
meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor, kejang,
, wajah tegang, gerakan lambat.
Respon Psikologis terhadap Kecemasan
- Perilaku;
Gelisah,
tremor, gugup, bicara cepat dan tidak ada koordinasi, menarik diri,
menghindar.
- Kognitif;
Gangguan
perhatian, konsentrasi hilang, mudah lupa, salah tafsir, bloking, bingung,
lapangan persepsi menurun, kesadaran diri yang berlebihan, kawatir yang
berlebihan, obyektifitas menurun, takut kecelakaan, takut mati dan
lain-lain.
- Afektif; Tidak sabar, tegang,
neurosis, tremor, gugup yang luar biasa, sangat gelisah dan lain-lain.
Mekanisme Koping
Individu
dapat mengalami stress dan ansietas dengan menggerakkan sumber koping tersebut
di lingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal ekonomi, kemampuan
penyelesaian masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu
seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi
strategi koping yang berhasil.
Ketika
mengalami ansietas individu menggunakan berbagai mekanisme koping untuk
mencoba
mengatasinya dan ketidakmampuan mengatasi ansietas secara konstruktif merupakan
penyebab utama terjadinya perilaku patologis. Ansietas tingkat ringan sering
ditanggulang tanpa yang serius. Sedangkan ansietas tingkat sedang dan berat ada dua
jenis
koping yaitu :
- reaksi yg berorientasi pada tugas
* perilaku menyerang
* menarik diri
* kompromi
- mekanisme pertahanan ego
·
Represi: lebih cenderung memperkuat mekanisme egonya
·
Supresi: menekan hal atau pikiran yang tidak menyenangkan. Bisa
mengarah ke represi
·
Disosiasi: pemisahan dari setiap kelompok mental dari seluruh kesadaran
atau identitas
·
Identifikasi: proses untuk mencoba menjadi orang yang dikagumi
·
Introyeksi: menyatukan nilai dan opini
orang lain ke egonya sendiri
·
Proyeksi: mengkaitkan pikiran atau impuls dirinya kepada orang lain
·
Mengingkari: menghindari realitas ketidaksetujuan dengan mengabaikan atau
menolak
untuk mengenalinya
·
Fantasi: simbol kepuasan terhadap pikiran yang tidak rasional
·
Rasionalisasi: memberikan penjelasan yg rasional
·
Reaksi formasi: pembentukan sikap & perilaku berlawanan dengan yang
dirasakan
·
Mengalihkan: mengalihkan emosi yang seharusnya diarahkan pada orang atau
benda tertentu ke benda yang tidak membahayakan
·
Intelektualisasi: alasan atau logika yang berlebihan
·
Spliting: memandang orang sebagai “semuanya buruk atau semuanya baik”
·
sublimasi: penerimaan tujuan pengganti yang diterima secara sosial
·
undoing: meniadakan yang sudah terjadi
B. Rentang Respon Kecemasan
![](file:///C:/Users/Dydy/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
![](file:///C:/Users/Dydy/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.gif)
![](file:///C:/Users/Dydy/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.gif)
![](file:///C:/Users/Dydy/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif)
![](file:///C:/Users/Dydy/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.gif)
![](file:///C:/Users/Dydy/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.gif)
![](file:///C:/Users/Dydy/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.gif)
Respon Adaptif Respon Maladatif
Antisipasi ringan
sedang berat panik
Darajat
(1977,27) menyebutkan bahwa terdapat macam-macam atau bentuk-bentuk kecemasan,
antara
lain
:
1.
Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui adanya bahaya yang
mengancam dirinya.
2.
Rasa cemas yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk.
3.
Rasa cemas karena merasa berdosa atau bersalah karena melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan
keyakinan
hati nurani.
5.
Pengkajian yang Perlu Dilakukan Perawat Pada Kasus
Kecemasan
PENGKAJIAN
Riwayat masa lalu:
·
apakah klien pernah mengalami trauma
yang menimbulkan kecemasan?
·
Apakah klien memiliki tingkah laku
yang cepat panik?
·
Apakah klien mempunyai penyakit
kronis?
Riwayat masa sekarang:
·
Tidak ada kabar tentang istri
Pola Gordon:
1.
Pola pemeliharaan kesehatan
Apakah ketika cemas pasien minum obat?
Mengunjungi psikiater atau dokter?
2.
Pola nutrisi metabolik
Apakah cemas mempengaruhi pola makan?
3.
Pola eliminasi
Apakah pasien mengalami konstipasi atau diare ketika
cemas?
4.
Pola aktivitas dan latihan
Apakah cemas mempengaruhi pekerjaan dan aktivitas
pasien?
5.
Pola tidur dan istirahat
Apakah ketika cemas mengalami
gangguan tidur?
6.
Pola kognitif dan persepsi sensori
Jika cemas apakah muncul nyeri? Keringat dingin?
7.
Pola stres dan mekanisme koping
Apa yang dilakukan ketika cemas?
8.
Pola kepercayaan
Jika sedang cemas akan sesuatu, menganggap bahwa itu
kutukan Tuhan?
Berdoa ketika sedang cemas dalam
menghadapi masalah?
9.
Pola reproduksi dan seksualitas
Apakah cemas mempengaruhi hubungan seksual?
10. Pola
hubungan dengan sesama
Apakah cemas mempengaruhi hubungan pasien dengan
sesama? Menarik diri?
11. Pola konsep
diri
Apakah cemas mempengaruhi harga dan gambaran diri?
6.
Asuhan Keperawatan Kecemasan
Kasus
Seorang
perempuan berumur 56 tahun di rawat di RS, pada saat pengkajian didapatkan data
klien tidak respon terhadap lingkungan, terlihat nafas tersengal-sengal,
palpitasi, keluar keringat dingin, mual dan muntah 1 kali,terjadi
depersonalisasi, dari anamneses diketahui klien merasa cemas terhadap suaminya
yang sedang naik pesawat terbang dan dikabarkan hilang. TD : 160/90 mmHg, RR:
30x/menit, klien mengatakan takut kehilangan suaminya dan ketika didekati
perawat klien menolak dan berusaha memukul.
ANALISA DATA
DS:
-
klien mengatakan cemas
terhadap suaminya yang sedang naik pesawat terbang dan dikabarkan hilang
-
klien mengatakan takut
kehilangan suaminya
DO:
-
pasien tidak respon terhadap
lingkungan,
-
nafas tersengal-sengal
-
palpitasi
-
keluar keringat dingin
-
mual muntah,
-
terjadi depersonalisasi
-
TD 160/90,
-
RR 30x/menit
-
Pada saat didekati perawat klien
menolak dan berusaha memukul pasien.
Data
|
Problem
|
Etiologi
|
DS:
-
klien mengatakan cemas
terhadap suaminya yang sedang naik pesawat terbang dan dikabarkan hilang
-
klien mengatakan takut
kehilangan suaminya
DO:
-
pasien tidak respon terhadap
lingkungan,
-
nafas tersengal-sengal
-
palpitasi
-
keluar keringat dingin
-
mual muntah,
-
terjadi depersonalisasi
-
TD 160/90,
-
RR 30x/menit
-
Pada saat didekati perawat klien
menolak dan berusaha memukul.
|
Cemas
|
Ancaman
kematian, krisis situasional
|
Intervensi
Tgl/jam
|
No DP
|
Tujuan dan kriteria hasil
|
intervensi
|
rasional
|
08/04/11
08.00
|
1
|
Cemas dapat berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam, dengan kriteria hasil:
1. pasien respon terhadap lingkungan
2. tidak sesak nafas
3. tidak palpitasi
4. tidak keluar keringat dingin
5. tidak mual muntah
6.tidak depersonalisasi
7. TD 120/80
8. RR: 12-20 x/mnt
9. tidak menolak saat didekati perawat dan tidak
memukul
|
1. Bina hubungan saling percaya
2. Lindungi klien dari bahaya
3. Modifikasi lingkungan yang dapat mengurangi
kecemasan
4. Motivasi klien melakukan aktifitas yang telah
dijadwalkan
5. Kolaborasi pemberian obat-obat anti ansietas
untuk menurunkan gejal-gejala cemas berat
|
1. adanya hubungan saling percaya antara perawat dan
pasien dapat memudahkan perawat mencari informasi dari klien
2. jika klien dalam bahaya cemas akan berulang
3. lingkungan yang nyaman dapat mengurang kecemasan dan membuat pasien rileks
4. dengan adanya kegiatan yang dijadwalkan akan
mengalihkan perhatian klien terhadap cemas
5. obat
untuk mengurangi cemas
|
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kecemasan
adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan yang disertai
dengan tanda,somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas sistem syaraf
otonom. Kecemasan adalah gejala. yang tidak spesifik yang sering ditemukan dan
sering kali merupakan suatu emosi yang normal
Kecemasan
dapat dialami oleh berbagai tingkatan usia. Kecemasan atau ansietas adalah
istilah yang sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari yang menggambarkan
keadaan khawatir, gelisah yang tidak menentu, takut, tidak tentram, kadang-kadang
disertai berbagai keluhan fisik serta merupakan reaksi emosional terhadap
penilaian individu yang subjektif, yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan
tidak diketahui secara khusus penyebabnya.
3.2. Saran
1. Sebagai
mahasiswa/mahasiswi calon perawat agar dapat lebih memperdalam ilmu serta
wawasan mengenai gangguan jiwa
pada lansia dengan kecemasan dan dapat mengaplikasikanya
dalam dunia keperawaatan.
2. Bagi
masyarakat agar lebih peduli dan berpartisipasi dalam menjaga kesehatan dan
jangan mengabaikan tanda dan gejala yang muncul sebagai penyakit yang wajar
tetapi segera periksakan kedokter atau pelayanaan kesehatan yang terdekat utuk mencegah komplikasi dan prognosis yang buruk.
3.
Maka
dari itu kami mencoba berbagi kepada
Anda sedikit upaya yang bisa dilakukan untuk
menghilaangkan rasa cemas: Cobalah untuk relaksasi,lakukan aktivitas yang lain
untuk mengalihkan rasa cemas,hindari
kafein dan Alkohol,percaya diri,istirahat yang cukup
DAFTAR PUSTAKA
Stuart,
Gail Wiscarzt. Buku Saku Keperawatan Jiwa
edisi 3. 2002. Jakarta: EGC.
Tomb,
David A. Buku Saku Psikiatri Edisi 6.
2003. Jakarta: EGC.
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa,Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep Diri,Edisi I, Jakarta : EGC, 19992003
Santosa Budi,2005-2006,Panduan Diagnosa Keperawatan nanda,Jakarta
Mallapiang.2003.keperawatan
jiwa.Jakarta:EGC
Lynda
juall carpenito dan moyet.2007.Buku saku diagnosis keperawatan.jakarta:EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar